Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Kolom

Daulat Desa di Simpang Jalan

×

Daulat Desa di Simpang Jalan

Sebarkan artikel ini
Daulat Desa di Simpang Jalan
Ilustrasi gambaran desa yang berada di Simpang jalan. (Foto; ilustrasi)

Oleh: Atiqurrahman (Anak Muda yang setia mencintai Desanya)

Dulu, sebelum lahir Undang-Undang tentang Desa tahun 2014, potret desa sangat buram sekali. Posisi desa mengalami suatu marginalisasi dan diskriminasi. Dan desa hanya dianggap sebagai pemerintahan semu dan unit administratif belaka.

Example parallax

Akibatnya desa tak lebih hanya sekadar obyek saja. Segala arah dan rencana pembangunan desa ditentukan oleh pemerintah pusat. Masyarakat desa hanya dapat menerima dan menjalankan saja. Meskipun hal itu cenderung bertentangan dengan nilai-nilai kearifan lokal dan kepentingan masyarakat desa.

Namun, sejak disahkan Undang-Undang Desa tahun 2014, Desa tidak lagi dipandang sebelah mata. Desa sudah menjadi “Subyek” pembangunan. Desa memiliki kewenangan untuk mengatur nasib dan masa depannya sendiri, dan bisa melakukan apa saja guna mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya. Jadi, posisi desa sekarang terlihat lebih mandiri, berdaulat dan demokratis.

Dalam UU desa ini, terdapat beberapa asas dan pelbagai kewenangan yang melekat dalam desa. Seperti asas rokognisi dan subsidiaritas desa. Yaitu adanya suatu pengakuan dan penghormatan atas desa mengenai sejarah dan hak asal-usulnya, serta desa bisa menetapkan kewenangan dalam pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa sendiri.

Sedangkan kewenangan atau hak kekuasaan desa itu termuat di pasal 18 UU desa, diantaranya adalah; 1), penyelenggeraan pemerintahan desa, 2), pelaksanaan pembangunan desa, 3), pembinaan kemasyarakatan desa, dan 4), pemberdayaan masyarakat desa. Dengan kewenangan ini tentu saja desa dapat merencanakan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan potensi yang dimilikinya, dan bertumpu pada kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya.

Akan tetapi, dibalik berbagai kewenagan itu, pemerintah desa memiliki tanggungjawab yang cukup besar. Yakni harus mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya, memberikan dan menyediakan pelayanan yang terbaik, serta menciptakan struktur pemerintahan desa yang terbuka, egaliter dan demokratis.

Tanggungjawab tersebut harus benar-benar dilaksanakan oleh pemerintah desa. Sebab itu amanah, sekaligus mandat yang diberikan negara untuk pemerintah desa. Jadi, pemerintah desa perlu bekerja seoptimal mungkin guna mewujudkan cita-cita luhur yang termaktuf dalam UU desa.

Pemerintah desa dalam menjalankan kewenangan dan tanggungjawabnya, dialokasikan beberapa anggaran atau dana yang bersumber pada Pemerintah Pusat (APBN), Pemerintah provinsi (APBD) dan Pemerintah Kabupaten/Kota (APBD). Hal ini termuat secara jelas dalam pasal 72 UU desa. Kemudian, dipertegas dengan lahirnya Peraturan Pemerintah tentang Dana Desa tahun 2014, sebagai aturan teknis penyaluran dan pengelolaan dana desa.

Baca Juga:  Santri dan Intelektual Organik

Oleh karena itu, setiap pemerintah desa hampir dipastikan mendapatkan kucuran dana desa dari negara kurang-lebih 1 milyar setiap tahunnya. Pada tahun 2021 misalnya, pemerintah pusat mengucurkan 72 trilyun dan sudah tersalurkan pada 74,939 desa di Indonesia.

Dengan demikian, keberadaan UU desa ini menjadi semacam tonggak perubahan atau transformasi bagi tatanan politik desa. Pemerintah desa memiliki hak kekuasaan mutlak dalam merencanakan, menyusun, melaksanakan dan mengevaluasi jalannya roda pembanguan desa, tanpa harus takut ada intervensi dari pihak siapa pun. Namun, yang paling penting adalah bagaimana ruang partisipasi politik masyarakat terbuka selebar-lebarnya, dengan menjadikan Musyawarah Desa (MusDes) sebagai forum tertinggi dalam instrumen pengambilan keputusan desa.

Sudah saatnya memang, arah pembangunan negara Indonesia dimulai dari pinggiran. Dengan menempatkan desa sebagai aktor utamanya. sebab, hanya pemerintah desalah yang memahami dan mengerti psikologis dan karakteristik masyarakat desa, sehingga jika terjadi suatu permasalahan maka cukup mudah mengatasinya. Dan, narasi “Desa Membangun Indonesia” tidak hanya sekadar sloganistik dan omong kosong, melainkan benar-benar terealisasi dan nyata.

Desa di Simpang jalan.

Dengan melimpahnya anggaran dana desa yang diberikan negara pada pemerintah desa, seyogianya pemerintah desa mampu meningkatkan pendapatan perekonomian masyarakatnya. Persoalan seperti kemiskinan dan ketimpangan sosial seharusnya dapat teratasi. Dengan cara membentuk sekaligus memperkuat Badan Usaha Miliki Desa (BUMDES) sebagai jangkar perekonomian desa dengan menciptakan usaha dan lapangan pekerjaan baru bagi penduduk lokal desa.

Saat ini, pemerintah desa bisa menggunakan dana desa secara bebas dan leluasa untuk menopang keperluan dan kepentingan masyarakatnya, seperti perihal kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan lain sebagainya. Juga, pemerintah desa bebas untuk merencanakan apapun guna terciptanya suatu tatanan yang lebih baik, beradab dan beradil.

Pemerintah desa yang sangat berhasil dan terkenal dalam menegelola dana desa adalah Desa Ponggok, Klaten, Jawa Tengah. Desa Ponggok ini sudah menjadi teladan dan inspirasi bagi desa-desa di Indonesia. Karena berhasil meningkatkan perekonomian desa dan kesejahteraan masyarakatnya.

Dan, Desa Ponggok ini, selain sukses mengelola dana desa, juga mampu mengelola potensi aset-aset desa yang menjadi sumber utama pendapatan perekonomiannya. Sepanajang penelusuran saya, setidaknya ada tiga hal yang paling menonjonl; yakni wisata, pertanian dan tambak. Tak ayal kemudian Desa Ponggok ini dikenal sebagai desa kaya raya, karena mempunyai penghasilan yang cukup fantastis.

Baca Juga:  Sajak Fauzy Kek, " Kisah, Kota Malang"

Tahun 2019 misalnya, sebelum masa pandemik, Desa Ponggok telah meraup keuntungan sebesar 16 milyar dari berbagai usaha yang dikelola oleh BUM desanya. Maka, wajar bila Kepala Desa Ponggok, Junaedhi Mulyono mempunyai program bergengsi seperti satu Kartu Keluarga (KK) harus ada satu orang yang sarjana, dan biayanya ditanggung oleh pemerintah desa alias gratis. Sehingga, akhirnya Desa Ponggok tidak lagi menggantungkan diri dari dana desa (negara), karena sudah mandiri dan berdaulat.

Namun demikian, keberadaan dana desa ini tidaklah selalu menghadirkan cerita-cerita indah tentang keberhasilan dan kesuksesan sebuah desa. Melainkan, ada juga dana desa dijadikan sebagai lahan bancakan korupsi oleh oknum-oknum pemerintah desa untuk memperkaya diri sendiri beserta kroni-kroninya.

Menurut ketua KPK, Firli Bahuri, sejak tahun 2012 hingga 2021, ada 601 kasus korupsi terjadi di desa, dan 686 orang yang sudah menjadi terdakwa meliputi kepala desa dan perangkat desa (Kompas.com,18/09/2022). Tentu saja, ini menjadi sebuah preseden buruk, sebab selain mengangkangi amanah konstitusi desa, juga membuat nasib masyarakat desa makin terpuruk dan nestapa.

Dengan demikian, keberadaan UU Desa dan dana desa ini tak ubahnya seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, desa bisa maju dan mandiri, ketika memiliki kepala desa yang tepat, cerdas dan progresif. Tapi disisi lain, desa bisa jadi sangat suram sekali karena terjadi praktek-praktek culas yang dilakukan aparatus desa. Jadi, persisnya, konsep daulat politik desa ini seperti berada dalam simpang jalan dan bersifat dilematik.

Lantas, bagaimana dengan potret realitas Desa Pulau Mandangin yang sangat saya cintai, apakah mengarah pada kemajuan ataukah kemunduran?, jawabannya, tentu cukup pelik dan menarik.

Pelik, karena belum ada rujukan data yang pasti dan valid sebagai alat ukur untuk menganalisis apakah terjadi peningkatan atau tidak mengenai kondisi kesejahteraan masyarakat Mandangin setiap tahunnnya.
Menarik, sebab Desa Pulau Mandangin mempunyai dana CSR dari kedua perusahaan Migas; yakni HCML dan Medco Energi yang jumlahnya ratusan juta setiap tahunnya. Nah, melalui skema dana desa dan dana CSR ini, apakah Desa Mandangin bisa maju, mandiri dan berdaulat seperti Desa Ponggok?. Mari, kita tunggu dan lihat 10 tahun kedepan.