SUARARAKYATINDO.COM – Jakarta, Tiga Hakim Mahkamah Agung (MA) dilaporkan Gerakan Sadar Demokrasi dan Konstitusi ke Komisi Yudisial di Jakarta pada Senin (3/6/2024). Laporan itu dilayangkan terkait keputusan syarat batas usia minimal calon kepala daerah.
Ketua Gerakan Sadar Demokrasi dan Konstitusi (GRADASI), Abdul Hakim mengatakan tiga hakim MA langgar impresialitas atau keberpihakan. Pihaknya menilai, putusan tentang syarat batas usia minimal calon kepala daerah terkesan diprioritaskan.
“Kami menduga putusan ini sangat tergesa-gesa. Putusan ini masuk ke MA tanggal 22 April, penunjukan hakim tanggal 27 Mei, dan diputuskan 29 Mei. Artinya, Putusan 23 ini diprioritaskan. Kami menduga ketiga hakim ini melanggar impresialitas atau keberpihakan,” ujar Abdul Hakim kepada wartawan di gedung KY, Jakarta Pusat, Senin (3/6/2024).
Tiga hakim MA itu kata Hakim adalah Prof. Dr. Yulius sebagai hakim ketua, hakim anggota I Dr. H. Yudi Martono, dan hakim anggota II Dr. Cerah Bangun. Alumni Universitas Gadjah Mada itu menilai putusan ini tampak berpihak dan menyebut bahwa biasanya proses di MA memakan waktu yang jauh lebih lama.
“Menurut kajian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), biasanya proses di MA memakan waktu sangat lama, ada yang 6 bulan bahkan sampai 50 bulan. Ini sudah diputus dalam satu bulan lebih, apalagi momennya Pilkada,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, Abdul Hakim menyoroti bahwa perubahan pada pasal 4 ayat 1 huruf (d) dari “Sejak Ditetapkan Menjadi Calon” menjadi “Sejak Pelantikan” menciptakan ketidakpastian hukum dan memperluas tafsiran hukum secara berlebihan.
“Ini menambah dan memperluas tafsiran hukum. Kami membawa banyak bukti dan putusan,” tambah Abdul.
Abdul menilai keputusan ini memiliki unsur politis dan menduga adanya keberpihakan yang menguntungkan pihak tertentu.
“Teman-teman bisa menduga keberpihakan ini mengacu kepada siapa, saya tidak ingin menyebutkan karena ingin fokus kepada proses hukumnya,” ujarnya.
“Karena ini momen Pilkada, jika diputuskan setelah Pilkada mungkin kita tidak menduga ada kepentingan politik. Tapi karena diputuskan menjelang Pilkada dengan pendaftaran di tanggal 27-28 Agustus, oleh karena itu diduga kuat ada kepentingan politik,” lanjutnya.
Dengan laporan tersebut, pria yang akrab disapa Akim itu berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak melanjutkan Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 ini. Ia juga ingin agar para hakim MA menjadi teladan dan tidak membuat keputusan yang bermuatan politis.
“Kami ajukan ke Komisi Yudisial dulu, jika perlu kami ajukan pengujian kembali terhadap PKPU. Kami berharap KPU tidak melanjutkan ini karena masih mendapat penolakan dari masyarakat,” pungkasnya.