Kolom  

Genggong; Tempat Rekonsiliasi Gus Dur dan Soeharto

Genggong; Tempat Rekonsiliasi Gus Dur dan Soeharto
Nampak jelas Pesantren Zainul Hasan Genggong Dari Luar. (Foto: PZh Genggong)

Penulis: Atiqurrahman

(Alumni PonPes Zainul Hasan Genggong)

Tak bisa disangkal bahwa posisi NU di masa rezim orde baru mengalami diskriminasi dan terpinggirkan. Ini tidak terlepas dari ulah Gus Dur yang seringkali melancarkan kritik-kritik tajam kepada rezim politik Soeharto. Diantara beberapa kritiknya yang paling keras adalah soal pembangunan Waduk Kedung Ombo, praktek KKN, pendirian ICMI dan tertutupnya saluran demokrasi, sehingga membuat Soeharto berserta kroninya merasa sangat jengkel dan marah.

Apalagi, saat itu Gus Dur tengah menjabat sebagai ketua PBNU, dimana setiap apa yang diucapkan dan dilakukannya pasti punya pengaruh sangat kuat terhadap kalangan masyarakat. Gus Dur secara tidak langsung, ingin “meruntuhkan” kredibilitas rezim politik Soeharto. Sebab rezim politik Soeharto sudak tidak menarik lagi. Fenomena semacam kekerasan, penculikan, pemenjaraan hingga pembunuhan merupakan daftar hitam rezim politik Soeharto.

Dengan demikian, hubungan antara Gus Dur dengan Soeharto tambah kian memanas. Soeharto melakukan berbagai macam cara guna mengancam dan mengintimidasi Gus Dur. Ketika Gus Dur menyelenggarakan “Rapat Akbar” tahun 1992, Soeharto melalui para begundalnya ingin menggagalkan acara tersebut, dengan cara mempersulit keluarnya surat perizinan, dan melarang warga Nahdliyin diluar Jawa untuk pergi ke Jakarta.

Puncak ketegangan antara Gus Dur dan Soeharto, ialah ketika Muktamar tahun 1994 di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Di mana Soeharto menginginkan Gus Dur kalah dan lengser dari tampuk kekuasaannya sebagai ketua PBNU. Inilah ujian terberat Gus Dur selama menjadi oposisi politik rezim orde baru.

Baca Juga:   Puisi Mas Dewa, "Purnama di Puncak Kasada

K.H. Said Aqil Siradj, pada salah satu ceramahnya menuturkan bahwa, Muktamar Cipasung ini paling mendebarkan sepanjang sejarah NU. Semua loyalis Gus Dur diuji kesetiannya di momentum itu. Karena Soeharto mengintervensi jalannya pemilihan ketua PBNU dengan mendukung Abu Hasan sebagai calonnya. Dan Soeharto mengancam para Kiyai agar tidak memilih Gus Dur. Bahkan menyusupkan anggota ABRI sebagai peserta Muktamar. Meski demikian, hasilnya pun cucu pendiri NU inilah keluar sebagai pemenang.

Namun berselang beberapa tahun, konflik Gus Dur dengan Soeharto sedikit mereda dan membaik. Ini sebab terjadinya pertemuan dalam acara Musyawarah Nasional 1 Rabhitah Al-Ma’ahid Al-Islamiyah (RMI) bulan November tahun 1997, di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Jawa Timur. Pertemuan ini dikenal sebagai “Salaman Genggong”.

“Salaman Genggong” ini merupakan sebuah momentum sejarah penting dimana Gus Dur dan Soeharto bisa bertemu dan duduk bersama. Soeharto diundang untuk membuka acara Munas 1 RMI, dan Gus Dur menyambutnya dengan penuh kehangatan sebagai ketua PBNU.

Selain itu, beberapa para menteri Soeharto juga hadir, diantaranya Mordiono (Mensekneg), Prof, Wardiman Djoyonegoro (Mendikbud), Prof, B.J Habibi (Menristek), dan Tarmidzi Taher (Menag). Sedangkan perwakilan pengurus PBNU hanya K.H Ilyas Ruhiyat (Rois Am) dan K.H Aziz Masyhuri.(Ketua RMI).

Baca Juga:   SMRC: Ganjar Unggul, Prabowo Dan Anies Bersaing di Posisi Kedua

Dan pada momentum tersebut, oleh berbagai kalangan dianggap sebagai upaya damai atau rekonsiliasi (Islah) antara Gus Dur dan Soeharto. Upaya rekonsiliasi ini tentu sangat berdampak positif pada hubungan NU dengan pemerintah. Dalam artian, NU tak lagi dikucilkan dan dipinggirkan oleh rezim politik orde baru.

Namun dibalik suksesnya kegiatan “Salaman Genggong” ini, tentu saja tidak terlepasnya dari kepandaian dan kecerdikan K.H Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah sebagai pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, sekaligus pengurus RMI waktu itu. Beliau punya peranan besar dalam menyatukan Gus Dur dan Soeharto. Sebab, beliau selain Alim di bidang agama, juga seorang manajer, negoisator dan pelobi yang handal.

Menurut Kiyai Mutawakkil, peristiwa “Salaman Genggong” itu memerlukan pertimbangan rasionalitas yang matang dan strategi yang tepat, serta tak lupa memohon pertolongan dan barokah para Ulama. Hal ini termuat dalam buku “Kiyai Sang Manajer, Peran dan Tanggung Jawab K.H Moh, Hasan Mutawakillah Alallah” karya ABD. Aziz, seorang santri kepercayaan beliau, dan kini menjabat sebagai Rektor Universitas Zainul Hasan (Unzah). Dan, peranan Kiyai Mutawakkil ini serta pesantren Genggong akan selalu dikenang dan dingat dalam tonggak sejarah peradaban NU. Semoga beliau selalu sehat, dan senantiasa memberikan pencerahan pada umat, bangsa dan negara. Amin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *