Penulis: Atiqurrahman
Belakangan ini saya membaca dan mengikuti arus perdebatan mengenai sistem kepemiluan kita yang akan diterapkan pada pesta demokrasi tahun 2024 mendatang.
Antara mau memakai sistem proporsional tertutup atau proporsional terbuka sebagaimana biasanya.
Sebelum melangkah lebih jauh, saya ingin memberikan pengertian sederhana tentang apa itu sistem proporsional tertutup dan sistem proporsional terbuka.
Proporsional tertutup ialah sistem pemilihan umum dimana masyarakat atau konstituen hanya memilih partai politik saja, bukan para kandidat politik.
Sedangkan proporsional terbuka adalah sistem pemilihan umum dimana masyarakat atau konstituen memilih para kandidat (calon) politik dan sekaligus partai politik.
Dan, kedua kerangka sistem pemilu ini menjadi perdebatan serius oleh berbagai kalangan, terutama partai politik yang sejatinya punya kepentingan untuk hal itu.
Sebetulnya, jika kita telusuri sejarah kepemiluan di Indonesia pernah menerapkan keduanya. Sistem proporsional tertutup ini mulai di jalankan sejak orde lama hingga orde baru. Dan, sistem proporsional terbuka dijalankan sejak reformasi bergulir, tepatnya ketika disahkannya UU Pemilu tahun 2003.
Oleh karenanya, perdebatan yang muncul saat ini diruang publik hanya fokus pada persoalaan menimbang perihal mana yang lebih banyak positifnya, daripada negatifnya.
Sebab, kedua kerangka sistem itu sama-sama memiliki nilai kelebihan sekaligus kekurangannya.
Misalnya, ketika sistem proporsional tertutup ini diterapkan, maka manfaatnya adalah ongkos politik murah, politik uang akan minim terjadi, dan pendidikan partai politik berjalan optimal.
Sedangkan kerugiannya adalah para konstituen tidak tahu siapa kandidat politiknya, lenyapnya ikatan emosional antara konsituen dengan kandidat politik, dan menguatnya oligarki partai politik.
Jika sistem proporsional terbuka ini dijalankan sebagaimana biasanya, maka positifnya adalah para konstituen tahu siapa kandidat politiknya, kemudian ikatan emosional antara konstituen dengan kandidat politik terjalin kuat, dan angka partisipasi politik akan tinggi.
Sedangkan negatifnya adalah ongkos politik akan mahal, politik uang tetap merajalela, dan posisi partai politik makin terkendilkan.
Memprioritaskan Gagasan.
Terlepas dari hingar-bingar perdebatan sistem kepemiluan kita. Saya ingin mencoba mengajukan sebuah perspektif, bahwa yang lebih krusial bagi perkembangan dan kemajuan proses demokrasi ialah gagasan dan narasi yang kuat yang diusung oleh para kandidat politik atau calon legislatif (politisi).
Sebab, gagasan para kandidat politik ini akan menjadi semacam “bintang penuntun” selama melakukan kerja-kerja politiknya.
Dan, ia dituntut untuk mengkonversi gagasannya menjadi suatu kebijakan yang memihak pada kepentingan masyarakatnya (konstituennya), sehingga cita-cita kesejahteraan dan kemakmuran itu tidak hanya sebatas angan, melainkan bisa benar-benar terwujud.
Bagi saya, bunga demokrasi akan tumbuh dan mekar, jika selalu disiram dengan air gagasan yang segar setiap harinya. Dan, penyiraman tak lain dan tak bukan adalah para politisi, karena ia sebagai refresentator kekuasaan.
Makanya, saya merasa amat tidak peduli tentang hiruk-pikuk perdebatan sistem kepemiluan kita ini, terserah mau pakai yang sistem apa, proporsional tertutup atau terbuka?.
Tetapi, yang jelas, prinsipnya adalah para kandidat politik atau politisi harus punya gagasan yang utuh untuk ditawarkan pada masyarakat. Itulah yang terpenting. Titik.
Dan, jika nanti ada para kandidat politik atau politisi tidak mempunyai gagasan, memang sudah selayaknya untuk tidak dipilih, dan bahkan pantas dimasukkan kedalam ranjang sampah. Karena demokrasi membutuhkan oksigen gagasan agar tetap hidup.