Oleh: Atiqurrahman
Saya agak terlambat membaca karya buku Jalaluddin Rahmat (Kang Jalal). Padahal saya tahu nama beliau sejak mahasiswa, tetapi saya belum pernah membaca karyanya.
Mungkin, pada saat itu, saya lebih tertarik membaca karya-karya Gus Dur atau Cak Nur daripada karya Kang Jalal. Sebab, kedua pemikir muslim itu telah menjadi buah bibir pembicaraan di ruang publik, terutama bagi kalangan akademisi.
Kang Jalal sendiri adalah seorang pemikir muslim yang sepantaran dengan Gus Dur dan Cak Nur. Pemikirannya pun banyak dibaca dan dinikmati oleh berbagai kalangan.
Ceramah dan tulisan-tulisannya seringkali dikutip dan dikaji oleh pemikir lain untuk dijadikan sebagai pijakan, terutama soal tema-tema keislaman; spesifiknya relasi antara islam dengan ketauhidan, sains dan kaum tertindas (Mustad’afin).
Setidaknya ada dua buku karya Kang Jalal yang saya baca sekarang ini: yakni Islam Alternatif dan Islam Aktual. Dua buah buku ini sangat digandrungi oleh generasi muda di era 1990-an hingga saat ini.
Buku Islam Alternatif ini berisi kumpulan ceramah dan makalah Kang Jalal yang terbit tahun 1986. Sedangkan buku Islam Aktual berisi kumpulan tulisan-tulisan Kang Jalal yang dimuat di berbagai media dan terbit tahun 1991.
Bagi saya, spirit pemikiran Kang Jalal–(juga Gus Dur dan Cak Nur) ingin menghidupkan kembali tradisi berfikir dalam tubuh umat islam. Umat islam dituntut untuk memiliki pemikiran yang terbuka dan substantif dalam menjalankan ajarannya (syariat).
Dan, Kang Jalal mengkritik keras jika ada umat islam menanggalkan sepenuhnya peran penting akal fikiran dalam memahami ajaran islam. Sebab cita-cita islam itu menjadikan umatnya sebagai insan Ulul Albab.
Menurut Alqur’an, Ulul Albab ini diartikan sebagai kelompok manusia tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT. Dan diantara karakteristik Ulul Albab ialah menghargai akal fikiran, mencintai ilmu pengetahuan dan berani melawan kedzaliman.
Selain itu, Kang Jalal juga menjelaskan perbedaan sikap keberagamaan (keberislaman) umat islam menjadi dua corak; Intrinsik dan Ekstrintrik.
Keberagamaan intrinsik ini ialah orang-orang beragama yang menjadikan agama sebagai penuntun hidup dan pedoman moralitas. Sedangkan keberagamaan ekstrinsik adalah sebaliknya, agama dianggap sebagai identitas belaka, dan sekadar hanya mengejar status sosial serta kepentingan diri sendiri.
Dan fenomena keberagamaan ekstrinsik inilah yang tengah menggejala akhir-akhir ini. Bahwa sebagian orang beragama telah mengedepankan bungkus (pakaian) ketimbang isinya.
Atau, orang beragama sibuk berlomba-lomba membangun tempat ibadah yang besar dan megah, tetapi lupa pada masyarakat sekitar yang sedang kelaparan.
Dengan demikian, bagi saya, Kang Jalal adalah cendekiawan muslim yang cermat dan mampu menghadirkan ajaran islam yang senafas dengan kemanusian dan keindonesiaan.
Bahkan berhasil menjadikan agama sebagai kritik sosial terhadap realitas kehidupan umat manusia. Terlepas dari kontroversi Kang Jalal, kita patut menziarahi, sekaligus mempelajari warisan pemikiran-pemikiran Kang Jalal.
Saya yakin, warisan pemikiran Kang Jalal ini tetap relevan dan kontekstual sampai kapan pun selagi kondisi umat islam masih jumud, terbelakang dan belum menghargai kebebasan berfikir.
Dan, Kang Jalal, beserta Gus Dur dan Cak Nur akan dikenang sebagai sosok inspirator bagi generasi muda muslim hari ini. Karena kontribusinya sangat besar terhadap dinamika perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia. Mari kita kirimkan Alfatihah untuk ketiga tokoh itu.