Penulis: Atiqurrahman
Sebagian kepala desa menolak program koperasi desa merah putih. Ia dianggap melanggar UU Desa dan akan membonsai dana desa.
Saya pun setuju dengan sikap penolakan itu. Setidaknya dengan beberapa catatan; pertama, program koperasi desa merah putih ini terkesan dipaksakan. Ia hadir tanpa melalui rangkaian sosialisasi dan musyawarah di level desa.
Para pejabat kita sedikit bebal dan tak pernah belajar dari pengalaman sejarah. Bahwa program atau kebijakan yang sifatnya sentralistik itu akan berakhir kegagalan. Dan program ini jelas sangat birokratis dan hierarkis.
Saya khawatir koperasi desa merah putih ini bernasib sama dengan koperasi unit desa di era Orde Baru. Dan kita tidak ingin peristiwa itu terulang kembali.
Kedua, program koperasi merah putih ini mencerabut akar kemandirian dan kedaulatan desa. Desa tak lagi memiliki otoritas untuk menentukan arah pembangunannya sendiri.
Sebab program itu bergantung pada kehendak anggotanya. Ia bukan lembaga publik, melainkan privat. Berbeda dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) yang notabene sebagai lembaga publik.
Karena itu, saya fikir, ada perbedaan dalam segi pengelolaan dan orientasi kegiatan usahanya. BUMDesa lebih mengarah pada benefit (manfaat), sedangkan koperasi merah putih ini berorientasi pada profit (keuntungan).
Wajar saja bila program tersebut diperbolehkan melakukan kerja sama dengan pihak perbankan (HIMBARA). Karena membutuhkan modal awal cukup besar, yakni 3-5 milyar.
Ketiga, program koperasi merah putih ini hanya bagus di atas kerja saja. Namun dalam praktek di lapangan nanti akan menimbulkan gejolak. Sebab, ia tidak tumbuh dari hasil inisiatif dan prakarsa masyarakat desa sendiri. Tetapi ia bentukan dari pusat.
Para pejabat kita mungkin lupa, bahwa tatanan politik desa itu tidak bergerak secara dinamis. Ia sangat monoton. Praktek-praktek seperti nepotisme cukup lekat dalam tatanan politik desa. Dan kultur meritokrasi belum sepenuhnya tumbuh dalam tubuh birokrasi desa.
Saya tidak perlu menyebutkan contoh. Karena Anda bisa menemukannya secara mudah. Anda bisa melihat bagaimana ketua RT hingga birokrasi teras desa adalah orang-orang dekat kepala desa. Atau minimal bekas relawannya. Ya, miriplah dengan lanskap politik nasional kita.
Dengan demikian, saya khawatir program koperasi merah putih ini terkelola secara tertutup dan tanpa mengutamakan kultur meritokrasi. Akibatnya program ini berjalan mandeg, dan tanpa membawa hasil perubahan dan kemajuan terhadap masyarakat desa.
Karena itu, program koperasi merah putih ini perlu pengawasan ekstra ketat, terbuka dan penuh tanggungjawab. Prinsip-prinsip itu harus menjadi nafas dalam operasionalnya.
Keempat, saya sepakat dengan pernyataan ketua APDESI, bahwa program koperasi merah putih ini terlalu buru-buru. Padahal pemerintah tengah menjalankan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan ketahanan pangan.
Hal itu dengan menjadikan desa sebagai salah satu aktor utamanya. Dan Pemerintah sudah menetapkan 20% anggaran dana desa digunakan untuk swasembada pangan, dan sebagai besar desa sedang membentuk kelompok ketahanan pangan.
Oleh sebab itu, konsentrasi pemerintah desa terpecah, dan sulit melaksanakan ketiga program sekaligus. Mungkin, untuk pemerintah desa yang sudah mandiri dan maju, cukup mudah melaksanakannya. Tinggal bangun sinergitas dan kolaborasi dengan lembaga yang ada.
Namun, bagi pemerintah desa yang berkembang pasti merasa kesulitan. Menghidupkan dan mengoptimalkan peran BUMDesa sebagai jangkar perekonomian desa saja ruwetnya minta ampun. Apalagi kini akan melaksanakan tiga program sekaligus.
Dengan keempat catatan di atas, saya bukan sepenuhnya menolak i’tikad baik dan komitmen pemerintah, untuk memajukan dan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat desa.
Melainkan hanya sekadar mengingatkan. Bahwa ada rambu-rambu yang harus dilihat secara jernih dan obyektif agar program koperasi merah putih ini berjalan lancar, aman, dan sesuai dengan yang diproyeksikan.
Sekali lagi, saya tak ingin program koperasi merah putih bernasib tragis dan terkubur bersama dengan koperasi unit desa dalam tanah (sejarah) republik ini.