SUARARAKYATINDO.COM – Probolinggo, Masyarakat Suku Tengger Lereng Gunung Bromo tepatnya di Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo menggelar upacara adat yang biasanya digelar setiap 4 atau 5 tahun sekali sesuai kalender Tengger, Selasa 23 April 2024.
Upacara adat yang digelar masyarakat Suku Tengger ini merupakan Upacara Adat Unan-Unan atau Mayu Bumi dengan harapan masyarakat Suku Tengger bisa dijauhkan dari segala aura negatif, diberikan kesehatan jasmani rohani, dan tanah warga tetap subur.
Dalam Upacara Adat Unan-Unan tersebut, masyarakat Desa Wonokerso menyiapkan buah hasil bumi, makanan, kepala, kulit dan kaki kerbau serta hasil ternak yang kemudian dikumpulkan menjadi satu di balai desa setempat, lalu dipikul menuju Pelataran Sanggar Kembang untuk dibacakan ritual.
Untuk jarak dari Kantor Desa Wonokerso menuju Sanggar Kembang kurang lebih sekitar 2 hingga 3 kilometer dan warga diwajibkan berjalan kaki, baik itu bagi anak kecil, remaja hingga orang tua dengan diiringi tabuhan alat-alat musik tradisional seperti gendang, terompet, slenthem.
Nantinya, usai dibacakan ritual oleh Dukun Pandita, sembako tersebut diwajibkan untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing. Setiap warga satu persatu harus membawa pulang dalam artian satu rumah satu sembako.
Kepala Desa Wonokerso Karmoto mengatakan, jika upacara adat Unan-Unan ini dilaksanakan setiap 4 atau 5 tahun sekali. Hal ini juga sebagai bentuk terima kasih kepada leluhur Suku Tengger dan juga mengharapkan keberkahan, sehingga masyarakat menyiapkan hasil bumi dan hasil ternaknya.
“Dengan upacara adat Unan-Unan ini kami dan warga berharap kesehatan, rejeki berkah serta dijauhkan dari segala aura negatif dan semua masyarakat Tengger khususnya desa kami sebagai desa tertua pasti melaksanakan unan-unan ini,” ujar Karmoto.
Oleh karena itu, kata Karmoto, tradisi unan-unan harus benar-benar dijaga dan dilaksanakan oleh anak cucu generasi selanjutnya. Sebab, lanjutnya, tradisi selain sebagai bentuk permintaan perlindungan juga sebagai rasa terima kasih kepada para leluhur Suku Tengger.
“Tetap kompak untuk menjaga tradisi ini, dan agar bisa dilanjutkan hingga anak-anak, cucu-cucu ataupun generasi muda selanjutnya. Terlebih, tradisi unan-unan ini hanya digelar 4 atau 5 tahun sekali,” pungkasnya.