Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Kolom

Orkestrasi Politik Dinasti Jokowi

×

Orkestrasi Politik Dinasti Jokowi

Sebarkan artikel ini
Orkestrasi Politik Dinasti Jokowi
Presiden Jokowi saat sambutan. (Foto: IG @jokowi)

Oleh: Atiqurrahman

Perdebatan mengenai politik dinasti kembali mencuat kepermukaan publik. Dan
pemicunya adalah terpilihnya putera sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Example parallax

Sebelum itu, presiden Jokowi memang sudah memainkan sebuah orkestrasi politik dinasti. Dengan mencalonkan menantunya Boby Nasution sebagai Wali Kota Medan, dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wali Kota Solo. Alhasil, keduanya pun sama-sama menang dan kini tengah menduduki jabatan sebagai Wali Kota.

Tidak sampai disitu, Presiden Jokowi secara diam-diam juga mengorbitkan putera bungsunya, Kaesang Pangareb untuk terjun dalam dunia politik. Dan Kaesang memilih PSI sebagai kendaraan politiknya. Ajaibnya, setelah beberapa hari menjadi anggota PSI. Ia langsung ditunjuk sebagai ketua umum PSI. Luar biasa, bukan.

Dengan realitas demikian, kira-kira apa sebenarnya motif kepentingan Presiden Jokowi melakukan semua itu?. Satu-satunya jawaban yang cukup masuk akal adalah ingin membangun sebuah politik dinasti kekuasaan.

Karena itu, saya kira, publik harus berani melawan dan mengkritik ambisi politik presiden Jokowi ini. Bahwa apa yang dilakukannya tidak hanya sekadar merusak martabat dan prinsip-prinsip demokrasi. Namun juga akan menciderai lembaga-lembaga kenegaraan.

Dampak Buruk Politik Dinasti.

Diantara dampak buruk dari orkestrasi politik dinasti ini adalah terjadinya konflik kepentingan dan tumbuhnya budaya nepotisme di jagad perpolitikan kita.

Salah satu faktanya ialah bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan bahwa calon wakil presiden boleh dibawah usia 40 tahun, asalkan sedang atau pernah menjabat sebagai kepala daerah yang dipilih secara elektoral (pemilu).

Putusan MK tersebut, bagi sebagian orang dianggap berkelindannya antara kepentingan politik (dinasti) dengan lembaga hukum. Dengan kata lain, Anwar Usman, Ketua MK sekaligus iparnya Presiden Jokowi telah membuka jalan bagi keponakanya Gibran untuk maju sebagai calon wakil presiden. Padahal usia Gibran saat ini masih 36 tahun.

Akibatnya, marwah lembaga hukum kenegaraan kita jadi tercederai dan ternodai, karena kehilangan sikap independen dan netralitasnya, bahkan terjerumus dalam pusaran arus (ambisi) politik kotor.

Selain itu, politik dinasti menjadi virus mematikan terhadap perkembangan demokrasi. Sebab politik dinasti mempunyai cacat bawaan bernama “Privelege” atau hak keistimewaan.

Bayangkan, apa yang ditempuh oleh Gibran baik sebagai Wali Kota Solo atau pun calon wakil presiden nyaris tanpa ada hambatan dan rintangan apa pun.

Begitu juga dengan Kaesang yang secara tiba-tiba diangkat sebagai ketua umum PSI tanpa harus mengikuti kaderisasi politik. Hal itu disebabkan oleh “Privelege” yang melekat dalam diri keduanya sebagai putera presiden Jokowi.

Dengan kata lain, keduanya–Gibran dan Kaesang (termasuk Boby) menggunakan nama besar Jokowi sekaligus kekuatan politiknya demi mengejar sebuah kekuasaan. Dan, itu menjadi fakta politik yang sulit terbantahkan.

Salah satu contohnya adalah bagaimana kemenangan telak Gibran dan Teguh Prakosa pada pemilihan umum Wali Kota Solo, 2021, yang mencapai 86,5℅. Sedangkan lawan politiknya Bagyo Wahyono dan FX Supardjo hanya mendapatkan 13,5℅.

Akibatnya, pemilihan umum sebagai bagian dari proses demokratisasi terasa sangat menjemukan, bahkan nampak absurd. Karena kompetisi politik yang berjalan tidak sehat dan fair. Kekuatan politik Gibran-Teguh Prakosa terlampua jauh diatas rata-rata ketimbang lawan politiknya. Sehingga siapa yang menang bisa ditebak dan diketahui dengan mudah.

Dengan demikian, sudah sepantasnya kita–sebagai warga sipil harus melawan sehormat-hormatnya terhadap praktek-praktek politik dinasti ini. Bukan hanya sekadar demi menjaga marwah demokrasi, melainkan juga demi masa depan Indonesia agar lebih adil dan bebas dari budaya nepotisme.