Kolom  

Perjuangan Hari Pahlawan Tidak Terlepas Dari Perjuangan Para Kiai

Perjuangan Hari Pahlawan Tidak Terlepas Dari Perjuangan Para Kiai
Surabaya zaman dulu yang tidak bisa di lupakan sejarahnya. (Foto; ilustrasi/Arsip)

Oleh; J.Rifa

10 November adalah peristiwa berdarah yang terjadi di Surabaya Jawa Timur. Peristiwa ini tentu sudah di kenal banyak tokoh-tokoh, bahkan banyak masyarakat yang mengetahui bahwa itu adalah sejarah pemberontakan pasca Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Pemberontak yang di Surabaya itu di kenal dengan Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November yang pemerintah sudah meresmikan sebagai hari Nasional yang tertuang dalam Hal ini tertuang dalam surat Keputusan Presiden (Keppres) No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 yang ditandatangani oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno.

Pada tanggal 10 November 1945 terjadi pertempuran di Surabaya yang merupakan pertempuran besar antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Inggris. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Pertempuran Surabaya juga merupakan pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia, yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya.

Bentrokan-bentrokan tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby (Pimpinan Tentara Inggris untuk Jawa Timur) pada 30 Oktober 1945.

Sejarah Hari Pahlawan berawal dari pertempuran Surabaya. Kamu tentunya perlu mengenali pertempuran Surabaya ini untuk memahami sejarah Hari Pahlawan di Tanah Air. Pasalnya, peringatan Hari Pahlawan bertujuan untuk mengenang pertempuran Surabaya yang terjadi pada 10 November 1945 ini.

Kematian Jendral Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby yaitu Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh mengeluarkan Ultimatum 10 November 1945. Ultimatum tersebut meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

Baca Juga:  Surya Paloh dan Duet Ideal Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar

Ultimatum tersebut juga disertai ancaman akan menggempur kota Surabaya dari darat, laut, dan udara apabila orang-orang Indonesia tidak mentaati perintah Inggris. Mereka juga mengeluarkan instruksi yang isinya bahwa semua pimpinan bangsa Indonesia dan para pemuda di Surabaya harus datang selambat-lambatnya tanggal 10 November 1945, pukul 06.00 pagi pada tempat yang telah ditentukan.

Namun ultimatum itu tidak ditaati oleh rakyat Surabaya, sehingga terjadilah pertempuran Surabaya yang sangat dahsyat pada tanggal 10 November 1945, selama lebih kurang tiga minggu lamanya.

Ulama Menjadi Garda Terdepan Dalam Perlawanan di Surabaya

Setelah mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum bisa bernapas lega. Setelah Jepang kalah, Belanda yang didukung Inggris sebagai pihak pemenang Perang Dunia II ingin berkuasa kembali di Indonesia.

Pada 17 September 1945, Presiden Soekarno menanyakan fatwa hukum untuk membela tanah air dari ancaman penjajah kepada KH Hasyim Asyari. Beliau merupakan pemimpin Nahdatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia kala itu.

Sebagai tindak lanjut, pada tanggal 21-22 Oktober 1945, KH Hasyim Asyari mengumpulkan wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura di Surabaya untuk berdiskusi.

Resolusi jihad ini disambut oleh para santri dan masyarakat pada umumnya. Inilah yang menggerakkan semangat bertarung untuk melawan penjajah. Pada hari-hari berikutnya, kaum santri dan jemaah NU ikut serta dalam pertempuran di Surabaya.

Baca Juga:  Deretan Sajak-Sajak Umi Nurhayati " Tentang Perjumpaan"

Dari hal itu Bung Tomo, datang mengunjungi KH Hasyim Asyari. Bung Tomo izin untuk membacakan pidato yang terinspirasi dari resolusi jihad. Pidato Bung Tomo inilah yang kemudian turut membakar semangat para pejuang Surabaya.

Dengan demikian, semangat arek-arek Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945 tidak dapat dipisahkan dari resolusi jihad yang dicetuskan oleh KH Hasyim Asyari dan ulama-ulama lainnya.

Kiai As’ad Syamsul Arifin

Kiai As’ad Syamsul Arifin adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah di Sukorejo, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Beliau merupakan salah satu tokoh yang terlibat dalam pertemuan yang menghasilkan resolusi jihad.

Setelah pertemuan tersebut, sang kiai pergi ke Madura untuk menemui para ulama di sana. Beliau menyampaikan bahwa ada seruan jihad untuk melawan penjajah. Kiai As’ad meminta ulama di Madura mengumpulkan warga untuk dilatih secara fisik dan rohani agar memiliki kemampuan berperang.

Namun saat itu beliau mengalami dilema. Jika memilih kiai atau ulama untuk berperang, siapa yang akan mengurusi pendidikan agama? Sedangkan jika memilih santri, siapa yang akan melanjutkan dakwah Islam?

Dari kebingungan itu Kyai As’ad Syamsul Arifin melatih para penjahat agar Mereka bergabung menjadi anggota Pelopor, pasukan gerilya yang dibina oleh Kiai As’ad.

Mereka tidak hanya dilatih secara fisik, tetapi juga secara rohani dengan diajarkan dzikir dan amalan-amalan yang akan menyelamatkan mereka ketika menghadapi musuh.

Ketika pertempuran 10 November 1945 berlangsung, pasukan mantan penjahat ini turut ambil bagian, khususnya di wilayah Tanjung Perak, Jembatan Merah, dan di wilayah Wonokromo, Surabaya.

Tinggalkan Balasan