Penulis: Atiqurrahman
Saya mencoba menelusuri polemik mengenai pemilihan kepala desa (Pikades) di Kabupaten Sampang. Sebab isu ini terus bergulir dan memanas hingga saat ini.
Saya merangkumnya dengan dua koridor saja, yakni hukum (aturan) dan politik. Karena isi perdebatannya antara pihak Pemerintah Daerah dengan kelompok swadaya masyarakat hanya berkutat pada dua koridor tersebut.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut, saya ingin menggambarkan terlebih dulu kondisi obyektifnya. Bahwa saat ini di Kabupaten Sampang ada 143 desa dari 186 dipimpin oleh seorang Penjabat (PJ), termasuk di desa saya sendiri: Desa Pulau Mandangin.
Kepemimpinan para Penjabat ini berlangsung cukup lama, ada sekitar 2-4 tahun, tergantung dari selesainya purna tugas kepala desa definitif. Untuk desa saya, kepemimpinan Penjabat ini dimulai sejak tahun 2021 hingga sekarang.
Sebenarnya, isu pelaksanaan Pilkades ini pernah mencuat pada tahun 2021. Namun ditunda dengan tiga alasan, yakni Covid 19, faktor keamanan, dan tidak adanya anggaran.
Kebijakan penundaan ini termuat dalam Surat Keputusan Bupati Nomor 188.45/272/KEP/434.013/2021 Tentang Penundaan Pilkades. Dan dalam Surat Keputusan itu juga disebutkan bahwa perhelatan Pilkades akan dilaksanakan pada tahun 2025.
Namun, kenyataannya, Pemerintah Daerah belum memberikan jaminan dan kepastian hukum bahwa pelaksanaan Pilkades akan dihelat pada tahun ini. Padahal APBD telah menyediakan anggaran sebesar 23 Milyar.
Bahkan rumor yang berkembang, pelaksanaan Pilkades akan ditunda lagi pada tahun 2027. Dengan sejumlah alasan, diantaranya adalah masih menunggu aturan turunan baru dari pemerintah pusat, karena terjadi revisi atau perubahan atas UU Desa tahun 2014, salah satunya terkait masa jabatan kepala desa; dari semula hanya enam tahun, kini menjadi delapan tahun.