Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Kolom

Rayakan Maulid Nabi Bersama Sirah Ar-Rohiq Al-Makhtum

×

Rayakan Maulid Nabi Bersama Sirah Ar-Rohiq Al-Makhtum

Sebarkan artikel ini
Rayakan Maulid Nabi Bersama Sirah Ar-Rohiq Al-Makhtum
Buku Sirah Nabawiyah. (Foto: SRI)

Penulis: Atiqurrahman

Sebetulnya, saya sudah membaca buku Sirah Nabawiyah Ar-Rahiq Al-Makhtum karya Syaikh Sofiyurrahman Al-Mubarokfuri ini ketika berada di kota Madinah, sebagai salah satu upaya tabarrukan kepada Baginda Nabi Muhammad saw.

Example parallax

Saya juga pernah mengulasnya sedikit tentang kelebihan buku ini. Bahwa selain diterjemahkan dengan bahasa sederhana, lugas dan renyah, buku ini adalah pemenang juara pertama lomba kepenulisan Sirah Nabawiyah yang diselenggarakan oleh lembaga Rabithah Al-Alam Al-Islami yang berkedudukan di Mekkah.

Dan isinya pun sangat lengkap, padat dan eksiklopedis, serta di “Tahqiq” oleh beberapa ulama terkemuka salah satunya adalah Syaikh Nasiruddin Al-Bani. Sehingga keakuratan buku ini terjamin dan dapat dijadikan sebagai referensi mengenai kisah perjalanan hidup Baginda Nabi.

Buku ini adalah salah satu (secuil) dari sekian buku-buku Sirah Nabi Muhammad saw. Seperti buku sirahnya Ibnu Ishaq, dan Ibnu Hisyam, Thabaqatnya Ibnu Sa’ad, Tarikhnya Ath-Thabari, Sirahnya Ramadhan Al-Buthi dan lain sebagainya. Bahkan buku Syaikh Sofiyurrahman ini seringkali merujuk pada Sirahnya Ibnu Hisyam.

Kini, saya ingin membacanya kembali, karena saat ini merupakan bulan Rabiul Awal atau bulan kelahiran Baginda Nabi Mohammad saw. Seluruh umat Islam pasti sedang bersuka cita dan antusias dalam merayakan kelahiran putra Sayyidah Aminah dan Abdullah ini dengan beragam bentuk ekspresi.

Saya mempelajarinya dengan niat yang sama, yakni upaya tabarrukan dan memohon syafaat kepada Baginda Nabi. Juga untuk meneladani spirit kehidupan pribadi Nabi, dan mengambil suatu pelajaran berharga dalam setiap peristiwa yang dialami Nabi.

Menurut Syaikh Sa’ad Ramadhan Al-Buthi, setidaknya ada empat tujuan dasar belajar Sirah Nabawiyah, 1) memahami kepribadian Nabi Muhammad saw melalui kisah perjalanan hidupnya, 2) belajar dari sikap keteladanan Nabi dalam seluruh aspek kehidupannnya, 3) mempermudah dalam memahami al-Qur’an, karena turunnya ayat al-Qur’an erat kaitannya dengan peristiwa yang dialami Nabi, dan 4) menjadikan laku hidup Nabi baik ucapan, perbuatan, dan ketetapannya sebagai sumber aqidah dan hukum.

Baca Juga:  Belajar Sikap Kejujuran dan Kesetiaan Dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq

Sebenarnya mempelajari sosok Nabi Muhammad ini tak melulu dengan buku Sirah Nabawiyah, ada bentuk lain, seperti menonton film misalnya. Setidaknya ada dua film yang secara epik mengisahkan perjalanan hidup Nabi. Yakni film The Massage dan Muhammad: The Messenger of God.

Saya kira kedua film tersebut saling terkait dan saling melengkapi. Misalnya film The Massage yang dirilis tahun 1976 ini mengisahkan perjalanan Nabi Muhammad setelah mendapatkan risalah kenabian, mendakwahkan ajaran Islam hingga peristiwa revolusi Mekkah pada tahun 630 Masehi atau 8 Hijriyah.

Sedangkan film Muhammad: The Messenger of God yang dirilis tahun 2015 dan di sutradarai oleh Majid Majidi ini menceritakan serangkaian peristiwa sebelum dan sesudah kelahiran Nabi Muhammad, termasuk memotret kepribadian Nabi serta tanda-tanda kenabiannya ketika remaja dan dewasa.

Selain itu, Nabi Muhammad saw merupakan figur yang sangat lengkap dan kompleks. Perjalanan hidup atau kepribadian putra Abdullah ini bisa dilihat dari berbagai perspektif, baik sebagai negarawan sejati, komandan perang yang handal, pendakwah yang cerdas dan jujur, bahkan seorang suami yang selalu senantiasa mencintai istri-istrinya.

Dan saya lebih tertarik memahami figur Nabi Muhammad saw sebagai manusia biasa yang bertindak secara revolusioner. Dengan kata lain, Nabi Mohammad adalah manusia yang resah ketika melihat penindasan, perbudakan, penjajahan dan penghisapan terjadi.

Baca Juga:  Jokowi dan Demokrasi Yang Terkoyak

Karena itu, Nabi berani melawan dan menentang keangkuhan, kepongahan dan kedholiman suku Quraisy di Mekkah. Orang-orang seperti Abu Sufyan bin Muawiyah, Abu Jahal, Abu Lahab dan Utbah bin Rabi’ah dalah wajah-wajah penguasa penindas dari suku Quraisy.

Mereka sangat antipati terhadap risalah kenabian yang dibawa Nabi Mohammad, karena menggangu kemapanan status quo kekuasaannya.

Namun dibalik tindakan revolusionernya Nabi, ada sisi humanitisk yang membuat para pengikutnya (umatnya) terhanyut dalam kesetiaan terhadap ajaran Islam. Sebagaimana yang terpotret dalam lantunan Qosidah Burdah karya Imam Al-Bhusiri.

Syair-syairnya sangat indah, menawan, melankolis, syahdu, nan puitik sekali. Saya kutipkan penggalan Qosidahnya;

“Ya Tuhanku, limpahkanlah selalu rahmat ta’dhim dan keselamatan atas kekasih-Mu yang terbaik di antara seluruh makhluk”,

“Apakah karena mengingat para kekasih di Dzi Salam sana, Engkau deraikan air mata dengan darah duka”,

“Ataukah karena embusan angin terarah lurus berjumpa di Kadhimah. Dan kilatan cahaya gulita malam dari kedalaman jurang idham”,

“Mengapa kedua air matamu tetap meneteskan air mata? Padahal engkau telah berusaha membendungnya. Apa yang terjadi dengan hatimu? Padahal engkau telah berusaha menghiburnya”,

“Andaikan tak ada cinta yang menggores kalbu, tak mungkin engkau mencucurkan air matamu. Meratapi puing-puing kenangan masa lalu berjaga mengenang pohon al-Ban dan gunung yang kau rindu”,

“Begitu tulus nasihatmu, tapi aku tak mampu mendengar semua itu. Karena sesungguhnya orang yang dimabuk cinta tuli dan tak menggubris cacian pencela”.