Ampas dan Gula
Kau kenangan yang tak bisa aku lupakan
Dengan kata ini aku jujur, bahwa engkau telah sirna.
Di hembus angin, kau rusak, hancur tak berdaya.
Kau kenangan di masa lalu yang meracik hingga tak mengenal waktu.
Sebelumnya keindahan senja menyapa, dirimu yang menemaniku.
Sampai sapaan matahari menyapa tubuhku, kau setia menemaniku sampai aku terlelap dalam kelalaian waktu.
Tak mengenal waktu…
Tak mengenal apa itu akademik…
Tak mengenal semuanya, yang ku kenal adalah aroma nikmat yang melekat pada lidahku..
Tak heran, kaulah membuat diriku yang tak bisa lupa dengan aromamu…
Tak hanya aroma….
Ampasmu mengisahkan wajah yang memuai keindah pada hari itu…
Itulah yang aku tidak lupa kepadamu…
Suara kebisingan, suara tertawa, suara yang tak lazim aku dengar sambil duduk bercanda tawa..
Tertawa terbahak-bahak
Mengagah akibat ulah manusia..
Itu yang sering terlitas di benakku pada saat menikati aromamu.
Mati suri
Gerakkanku telah hambar pada saat kau hancurkan duniaku..
Berbicara pergerakan….
Bicara kemanusiaan…..
Bicara apa saja yang berkaitan dengan perubahan pada dunia, kau tega hancurkan dengan tanah yang tak sempat aku fikirkan.
Itu adalah rumahku yang telah aku pupuk sejak diriku duduk satu meja denganmu..
Kenangan itu telah hilang menjadi abu yang tak berdaya…
Jiwaku sudah mati suri….
Tak ada marwah wawasan lagi…
Tak ada waktu untuk berbicara tentang hancurnya pemerintah dan bumi ..
Itu adalah ulahmu yang tak sadar akan sejarahku kelam, saat duduk satu meja sambil menikmati aroma keindahan dunia..
Aku menangis saat alat itu menghancurkan rumahku yang telah membentuk jiwaku sampai saat ini aku pegang teguh..
Aku menangis saat dunia sudah berubah, tidak seperti sedia kala….
Aku menangis saat kau hancurkan rumahku yang tak sempat aku menikmati aromamu lagi…
Tak heran, dunia tak lagi seindah masa lalu yang merupakan tempat dialektik dikumandangkan….