Oleh; Tan Hamzah
Kereta Api
Meja telah menguap, kosong-kosong beserta cangkir, yang menyimpan polusi kota dan kita mengantongi kenangan dari malam akhir November. Aku ingin membingkis kesunyian yang keluar saat hampir subuh, ketika manusia berhenti tertawa dan tertawa, saat mata hampir tertutup, aku teringat dirimu yang gemar mengoleksi tiket kereta api, meski tulisan itu selalu luntur, tapi suara kereta tak akan berhenti bising.
Perjalanan pulang, terakhir dua tahun lalu, aku menulis tentang paru-paru yang bolong, mata bolong, otak bolong kosong, dengan kekosongan itu kau mencoba menembelnya, meski beresiko bocor. Kini semua itu butuh renovasi, aku terlalu miskin untuk mengganti setiap urat dan sendinya. Apa di pasar menyediakan syaraf-syaraf yang hilang.
Kereta itu sampai pada mataku, yang mulai rabun, membawa dirimu, ransel, dan rawon buatan ibumu, juga salam. Stasiun itu tidak menyapa, tidak berkata apapun, setiap aku kembali kesana, aku menuju dirimu, di akhir November.
Ibu Sapi
Bapakku membeli seekor sapi betina, berwarna putih, dan bertanduk kecil, saat sapi itu diturunkan dari mobil pick up, matanya sayu dan berair, entah tangisan itu bahagia atau sedih. Kakekku yang bekerja sebagai jagal mengantarnya, katanya sapi itu subur, sekali tanam, akan langsung berbuah, setelah beberapa bulan sapi itu melahirkan, bapakku senang, lalu memberi selamat kepada sapi, karena sapi itu telah menjadi ibu sapi.
Kau dan Aku Saling Mencari, Saling Menemukan
meski langit menjauh
udara memisahkan musim
hujan menabur benih-benih
dan kemarau menguatkan
rindu tak pernah selesai
sampai kau dan aku bertemu
di lembah yang teduh
di pelabuhan setelah lelah kita mencari
saling menemukan