Penulis: Atiqurrahman
Saya sebenarnya agak malas mendiskusikan soal suksesi Penjabat (PJ) di tingkat desa. Sebab, isu ini terkesan elitis dan tampak politis.
Ia hanya menjadi urusan dan perbincangan orang-orang yang berada di tampuk kekuasaan. Bukan rakyat jelantah macam saya.
Memang, semenjak di desa saya jabatan kepala desa selesai tahun 2021. Jabatan kepala desa diisi oleh Penjabat hingga hari ini. Ia ditunjuk langsung dari atas, agar roda pemerintahan desa tetap berjalan.
Dalam prosesnya, setidaknya sudah ada dua Penjabat di desa saya. Yakni Bapak Khoirul Anam dan Bapak Haris Budi Santoso. Keduanya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan bukan penduduk asli desa saya.
Dalam hal ini, saya tidak akan mengukur kinerja keduanya. Karena khawatir terlalu subyektif, dan lagipula tidak ada data hasil evaluasi yang pernah dipublikasikan setiap enam bulan sekali sebagai pedoman bersama.
Dan saya ingin menyoroti suksesi atau pergantian Penjabat ini karena (dianggap) tanpa melalui mekanisme musyawarah desa.
Bagi saya, musyawarah desa adalah forum sakral dan terhormat–sebagai instrumen partisipasi masyarakat dan tempat pengambilan keputusan tertinggi di desa. Ia merupakan wujud nyata dari segenap aspirasi, kehendak, dan kepentingan masyarakat.
Dengan musyawarah desa, seyogianya masyarakat dapat mengusulkan PJ secara terbuka, jernih, dan obyektif, sehingga pergantian PJ tidaklah terkesan elitis dan politis. Pengangkatan PJ adalah murni atas ide dan gagasan kolektif masyarakat sendiri.
Meskipun, saya tahu, dalam UU Desa penunjukan dan pengangkatan PJ adalah kewenangan Bupati sesuai dengan pasal 46 ayat 1. Namun itu tetap mengacu pada hasil musyawarah desa seperti bunyi pasal 47 ayat 3.
Artinya, Bupati harus mendengarkan suara aspirasi dan harapan masyarakat desa sebagai bahan pertimbangan dalam proses pengangkatan PJ desa.
Hal ini penting sekali, agar terjadi harmonisasi dan efektifitas dalam menjalankan roda pemerintahan desa ke depan.
Intinya, relasi antara PJ dan masyarakat desa harus tumbuh rasa “cemestry” dan kepercayaan yang kuat, sebagai modal untuk melaksanakan tujuan pembangunan desa yang akan direncanakan bersama.
Jika pengangkatan PJ ini terjadi sepihak dan tanpa melalui proses musyawarah desa, saya khawatir kepemimpinan politik desa berjalan kurang solid dan tampak sporadis.
Akibatnya adalah, proses pembangunan desa bisa terhambat dan minimnya partisipasi masyarakat, sehingga ruang demokratisasi yang kita impikan takkan pernah tumbuh di desa.
Karena itu, saya harap, siapa pun PJ yang ditunjuk oleh Bupati untuk desa saya, adalah hasil dari permenungan yang mendalam, dan telah mempertimbangkan aspirasi masyarakat secara arif dan bijaksana.
Saya fikir, PJ memiliki peran sangat vital dalam pembangunan desa. Ia adalah nahkoda yang membawa setumpuk harapan dan cita-cita masyarakat desa.
Ia juga bisa menentukan arah perubahan tatanan desa menjadi lebih baik. Sebab ia memiliki kuasa untuk menyusun dan menetapkan postur anggaran pendapatan dan belanja desa, dan menyiapkan rencana kerja pemerintahan desa selama kurun satu tahun.
Semoga suksesi PJ kali ini terbebas dari rumor politis, dan benar-benar mencerminkan dari aspirasi dan kehendak masyarakat desa. Meski ini terdengar klise, tapi setidaknya itulah suara dan harapan saya.