Karya: Mahendra Utama
Di antara kitab-kitab yang bertaut waktu,
kau tumbuh dari akar Nahdlatul Ulama:
Kraksaan dan Paiton mencatat langkahmu,
sebelum filsafat mengasah kata,
sebelum administrasi merajut data.
1998, angin reformasi mengganas—
suaramu menggema di lorong gelap rezim.
SMID adalah panggung, darah muda dikobarkan,
sampai malam itu…
badanmu diculik, tapi jiwa tetap membara.
Kau dikembalikan, bukan sebagai korban,
melainkan puing yang bangkit jadi mercusuar.
Di puncak tebing, kau ukir nama
sebagai pengawal keringat dan karamah;
di kursi parlemen, kau tegakkan komitmen:
dari Probolinggo hingga Jambi,
suara rakyat kaupahat di nisan kebijakan.
Kau tak hanya milenial yang menari di gelanggang,
tapi filsuf yang menanam benih di tanah retak.
Faisol Riza—
jejakmu adalah hujan yang merawat sumur-sumur tua,
pejuang yang tak pernah selesai bergerak:
dari pesantren ke gedung DPR, hingga Wakil Menteri Perindustrian Indonesia.
Dari hilang menjadi abadi.
Selamat datang di setiap zaman yang memanggil,
di mana keadilan masih menunggu pijar.
Amalia Hotel, Bandar Lampung, 27 Mei 2025
“Puisi ini mencoba menyelami perjalanan Faisol Riza sebagai santri, aktivis, dan politisi, dengan metafora alam, perjuangan, dan cahaya.”