Oleh; Mas Dewa
Kemarin aku melihat seonggok jagung berdiri kokoh
Dan seorang petani yang sedang istirahat
Sembari mengkhayal
Menimang antara menjual atau untuk di konsumsi sendiri
Sebab harga yang tak menentu
Ini bukan ngesah
Tapi memang hal ini tidak diuntungkan untuk sebagain pihak
Ini bukan cerita
Tapi derita seorang petani yang gigih mempertahankan kehidupannya yang semata – mata bergantung pada hasil taninya.
Kemana mata angin akan membawanya
Kegembiraan atau kegelisahan ?
Tanda tanya itu terus menghantui
Menuntun kealam kehampaan
Seumpama dewi Sri mendengar celoteh ini apa kira – kira yang harus di lakukan seorang petani
Alih profesi ?
Sedang kegiatan ini telah turun – temurun dilaksanakan
Jika tidak, penguasa mau makan apa ?
Dewi Sri,
Kami petani kuno
Tak banyak yang kami harap
Tak muluk – muluk yang kami inginkan
Cukup panen kali ini saja tidak rugi
betapa syukur berlipat kami haturkan
Meski tak cukup, kami tetap gigih
Menjalankan profesi ini
Sayup – sayup rintik hujan mulai membasahi bumi
Seakan mengamini doa petani
Tak lagi bisa di hitung untung – rugi
Semua kehendak sang Ilahi
Paling tidak harga pupuk tak dimanipulasi
Itu saja sudah cukup
Puisi ini tak berupa nasi
Maka tak mengenyangkan
Paling tidak, sedikit coretan ini mewakili suara rakyat (petani) yang tersendat di meja diplomasi
Puisi ini bukan sajak pengisi waktu luang
Tapi suatu bentuk kegelisahan seorang petani yang merugi
Ketika beli bibit harganya selangit
Menjual hasil tani harganya menjerit
Puisi ini milik khalayak ramai
Terkhusus para pejuang
Yang mempertahankan pertanian kepemilikannya tanpa menggeser kedudukan pemimpinnya
Terakhir,
Semoga padi merasakan peluh petani
Semoga jagung merasakan lesu petani
Semoga sayur merasakan jerit petani
Semoga buah, pepohonan, kayu, langit, dan hujan menjadi rahmat bagi petani
Agar tak lusuh wajah pejuang ini
Tumbuh subur perjuangan dan cita – cita seluruh rakyat petani
Mas Dewa, 29 Mei 2022