Penulis: Atiqurrahman
Selama bulan puasa Ramadhan saya mengaji pemikiran-pemikiran Gus Dur. Dengan membaca beberapa karya bukunya dan kumpulan tulisannya.
Kita tahu, bahwa Gus Dur adalah seorang penulis yang handal, cekatan, dan konsisten. Tulisannya tersebar di berbagai media, dan lalu dikumpulkan menjadi satu buku utuh.
Gus Dur telah menulis dengan beragam topik; mulai dari ke-NU-an, pesantren, demokrasi, civil society, sepakbola, hingga relasi agama dan negara, atau agama dengan kebudayaan.
Karena itu, Gus Dur sudah melahirkan banyak karya buku. Sebut saja misalnya, Tuhan Tak Perlu Dibela, Islam Kosmopolitan, Ilusi Negara Islam, Prisma Pemikiran Gus Dur, Kiyai Nyentrik Membela Pemerintah, Melawan Melalui Lelucon, Menggerakkan Tradisi, dan lain-lainnya.
Untuk memotret peta pemikiran Gus Dur, setidaknya ada tiga orientasi besarnya, yakni keislamaan, keindonesiaan dan kemanusiaan.
Sementara itu, Jaringan Gus Durian juga telah mensarikan pemikiran Gus Dur menjadi sembilan nilai dan sikap yang menjadi suri tauladan Gus Dur bagi khalayak luas.
Yaitu ketauhidan, kemanusian, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan, dan kearifan tradisi.
Dalam mengarungi lautan luas pemikiran Gus Dur ini, mungkin saya memulai dengan membaca buku “Kiyai Nyentrik Membela Pemerintah”.
Buku itu merupakan kumpulan tulisan Gus Dur sejak tahun 1980-90an di Majalah Tempo. Gus Dur mengenalkan figur kiyai pesantren secara antropologis; perilaku, pemikiran, dan sikap dalam kehidupannya.
Gus Dur mengulasnya secara bernas dan ciamik.
Bahwa figur-figur kiyai pesantren ini memiliki sisi keunikan, tradisi, dan kearifan tersendiri dalam menyikapi dinamika bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Salah satu figur kiyai yang diulas oleh Gus Dur adalah Kiyai Muchit, yang terkenal sebagai ulama-intelektual.
Di satu sisi, Kiyai Muchit sangat jago dalam berbicara politik kenegaraan, tapi sisi lain, ia juga pandai dalam memberikan pemahaman agama dengan bahasa yang lugas, mudah, dan penuh humor.
Dengan begitu, Gus Dur menyebutnya sebagai “Kiyai Nyentrik”, karena memiliki dua kompetensi sekaligus, yakni sebagai ulama dan intelektual (politisi).
Gus Dur juga menulis figur Kiyai Hamim Thohari Djazuli atau Gus Miek. Seorang kiyai kharismatik asal Kediri yang sangat dirindukan nasehat-nasehatnya oleh Gus Dur.
Gus Dur memotret jalan dakwah yang ditempuh oleh Gus Miek yang penuh kontradiktif dan unik. Di satu sisi, Gus Miek konsisten menyeleggarakan majelis pengajian Alqur’an (Sema’an) di berbagai daerah.
Tetapi, di sisi lain, Gus Miek terus menjalankan dakwahnya di tempat-tempat hiburan malam seperti diskotik, warung remang-remang, dan lokalisasi.
Menurut Gus Dur, Gus Miek melakukan itu semua hanya untuk memberikan kesejukan terhadap jiwa yang gersang, menghidupkan harapan kepada mereka yang putus asa, menghibur mereka yang bersedih, menyantuni yang lemah, dan mengajak mereka pada kebaikan.
Selain Kiyai Muchit dan Gus Miek, tentu saja Gus Dur juga menulis tentang figur-figur kiyai yang menjadi gurunya, seperti Kiyai Ali Maksum, Kiyai Sahal Mafud, Kiyai Ahmad Siddiq, dan lain-lainnya (anda bisa baca sendiri bukunya).
Melawan dengan elegan
Konon, Gus Dur sengaja menulis dan mempromosikan figur-figur kiyai kampung dan pesantren ini ke khalayak luas sebagai upayanya dalam melawan rejim Orde Baru.
Sebab rejim Orde Baru memandang sebelah mata dan mendiskreditkan peran dan eksistensi kiyai. Rejim Orde Baru cenderung lebih dekat dengan kelompok islam modernis. Dan Soerharto merangkulnya bahkan memberikan tempat kekuasaan terhadapnya.
Sedangkan kelompok tradisionalis (NU) direpresi, diteror, dan diintimidasi sedemikian rupa oleh Soerharto. Salah satu faktanya ialah Muktamar NU di Cipasung tahun 1994. Soeharto ingin sekali mendongkel kepemimpinan Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU.
Namun, Gus Dur bisa melawannya dengan elegan melalui segenap jurus akrobatiknya. Ia tampil sebagai oposan sipil sejati, dan kritik-kritiknya membuat Soerharto berang dan marah.
Gus Dur bersama Rahman Tolleng, Romo Frans Magnis Suseno, Marsilam Simanjuntak, Bondan Gunawan, dan beberapa teman lainnya mendirikan Forum Demokrasi (ForDem) tahun 1990 sebagai tandingan terhadap ICMI–kelompok islam modernis yang dirangkul oleh Soeharto.