Berita ProbolinggoDaerah

Kampung Marning Warisan Kuliner, Dari Keranjang Anyaman hingga Menembus Pasar Nasional

×

Kampung Marning Warisan Kuliner, Dari Keranjang Anyaman hingga Menembus Pasar Nasional

Sebarkan artikel ini
Taufiq, generasi Ketiga penerus usaha Marning di Probolinggo. (Foto: Istimewa)

SUARARAKYATINDO.COM – Probolinggo, Di sudut Kota Probolinggo, tepatnya di RW 4, Jalan Sunan Drajat, Kelurahan Kedunggaleng, Kecamatan Wonoasih, terdapat sebuah kampung unik yang dikenal sebagai “Kampung Marning.” Sejak tahun 1984.

Kampung ini menjadi pusat produksi marning, camilan berbahan dasar jagung yang gurih dan renyah.

Kampung ini berawal dari perjuangan Suryo, seorang perintis yang memulai usahanya dengan berjualan jagung bledos berkeliling menggunakan keranjang anyaman bambu.

Usaha tersebut kemudian diwariskan kepada anaknya, Wahyu, yang mengembangkan produk marning mentah.

Tak disangka, bisnis ini berkembang pesat dan menarik minat warga sekitar.

Hingga kini, sekitar 30 keluarga di kampung tersebut menggantungkan hidup dari usaha marning, terutama saat Ramadan, ketika permintaan melonjak drastis.

Namun, perjalanan usaha ini tidak selalu mulus. Sejak Pandemi COVID-19 di tahun 2020 sempat menghentikan produksi akibat kelangkaan bahan baku.

Taufik, generasi ketiga penerus usaha ini, harus mengurangi produksi.

Meski begitu, semangatnya tak surut, dan Kampung Marning kembali bangkit, terutama setelah mendapatkan pelatihan digital marketing pada tahun 2019.

Di rumahnya, Taufik terlihat sibuk membungkus marning bersama istri, adik, dan dua tetangganya.

Ia menjelaskan bahwa pembuatan marning masih dilakukan secara tradisional.

Hal yang dilakukan pertama kali, jagung direbus dalam dandang besar, kemudian direndam selama 24 jam sebelum direbus kembali selama 8–10 jam. Setelah itu, jagung dijemur selama dua hari sebelum akhirnya digoreng dalam wajan besar.

Menurut Taufiq, Tantangan utama dalam produksi ini adalah cuaca yang tidak menentu.

“Penjemuran harus mengandalkan sinar matahari. Kalau tiba-tiba mendung, prosesnya bisa terganggu,” ujar Taufik.

Selain itu, ketersediaan jagung pipil yang fluktuatif juga menjadi kendala, terutama setelah pandemi.

“Dari 30 keluarga, kini hanya sekitar 6 keluarga yang masih bertahan memproduksi marning setiap tahun,” jelasnya.

Taufiq juga memaparkan, agar tetap eksis, dirinya memasarkan marning dengan merek “Fara Queen” yang kini memiliki berbagai varian rasa, seperti original, pedas, manis, hingga sapi panggang.

“Pemasarannya telah menjangkau berbagai daerah, seperti Lumajang, Pasuruan, Jember, hingga Jakarta,” katanya.

Sebagai seorang wirausaha, Taufik bercita-cita agar Kampung Marning semakin dikenal luas dan dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan.

“Kami ingin tetap produksi dan terus berkembang. Harapannya, Kampung Marning bisa menjadi ikon kuliner khas Probolinggo,” tuturnya dengan semangat.

Lebih lanjut, Taufiq juga memaparkan, dengan ketekunan dan inovasi.

“Kampung Marning Kedunggaleng membuktikan bahwa usaha berbasis tradisi dapat bertahan dan berkembang, bahkan di tengah tantangan zaman,” imbuhnya.

error: