Kolom  

Memilih Jalan Proporsional Tertutup

Memilih Jalan Proporsional Tertutup
Ilustrasi pemilihan proposional tertutup. (Foto: ist/ilustrasi)

Oleh: Atiqurrahman

Polemik mengenai sistem kepemiluan kita masih saja terjadi dan berlanjut hingga saat ini. Apakah mau menerapkan proporsional terbuka atau proporsional tertutup.

Tentu polemik ini muncul bertujuan untuk memajukan proses demokrasi agar lebih berkualitas dan bermartabat, sehingga mampu menghasilkan pemimpin yang bijaksana dan berintegritas tinggi, serta dapat membawa masa depan bangsa Indonesia lebih cerah dan menjanjikan.

Bagi saya, pilihan yang cukup rasional dan logis, untuk sistem pemilu kita adalah menerapkan sistem proporsional tertutup.

Setidaknya, ada beberapa argumentasi yang mendasarinya, pertama, proporsional tertutup itu akan meminimalkan terjadinya politik uang. Sehingga publik (konstituen) dalam menggunakan hak politiknya berdasarkan ide dan gagasan yang dianutnya, bukan pada transaksi politik uang.

Dampaknya, istilah “serangan fajar” atau hal-hal semacamnya akan lenyap begitu saja. Dengan demikian, proses pemilu yang berlangsung akan berjalan secara bersih, jujur dan adil.

Kedua, mengoptimalkan kembali peran partai politik sebagaimana mestinya. Kita sadar, bahwa partai politik selain sebagai instrumen reproduksi kekuasaan, juga merupakan ruang pendidikan kaderisasi dan ideologisasi kandidat (kader) politik.

Maka sudah sepatutnya memang bila partai politik menyiapkan kader atau kandidat terbaiknya guna dijadikan sebagai penyambung lidah rakyat sejati.

Kehadirannya mampu mengartikulasikan sekaligus mengapresiasikan segenap kebutuhan rakyat, dan terpenting bisa membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat.

Ketiga, biaya pemilu tidak akan terlalu mahal. Secara teknis, proporsional tertutup akan menghemat ongkos pemilu. Sebab, proporsional tertutup mensyaratkan para konstituen hanya memilih partai politik bukan kandidat politik.

Jadi, para kandidat politik tak perlu membayar saksi di tempat pemungutan suara (TPS), dan tidak bersusah payah mengeluarkan banyak uang untuk kampanye. Cukup hanya promosikan saja partai politiknya ke konstituen.

Keempat, yang paling fundamental adalah anak-anak muda seperti saya memiliki peluang dan kesempatan cukup besar untuk terjun dalam dunia politik praktis.

Tentu, hal ini selain karena minimnya biaya politik, juga para kandidat politik hanya perlu menyiapkan gagasan dan isu yang ingin diperjuangkan untuk publik.

Setelah itu, para kandidat politik tinggal bertarung di internal partai politik demi merebut tiket untuk masuk ke gelanggang kekuasaan.

Antisipasi Oligarki Partai Politik.

Ketika sistem proporsional tertutup ini diterapkan, salah satu hal yang perlu diantisipasi adalah menguatnya oligarki partai politik.

Sebab partai politik memiliki dominasi dan berperan sentral dalam menyiapkan dan memutuskan siapa saja yang akan menjadi kandidat politik.

Oleh karenanya, jangan sampai transaksi politik uang yang kita tolak secara tegas ini hanya berpindah tempat, dari pusaran rakyat menuju lingkaran partai politik.

Dengan kata lain, partai politik tak ubahnya seperti pedagang yang memasang harga kepada calon pembeli (kandidat politik). Akibatnya, jual beli jabatan dan kekuasaan tidak bisa terhindarkan lagi.

Akhirnya proses demokrasi yang kita harapkan menjadi sia-sia dan takkan menghasilkan perubahan apapun. Demokrasi tak lebih hanya menjadi tempat berkumpulnya para penyamun yang merampok uang rakyat.

Meski demikian, kita perlu mengantisipasi atau mensiasati dengan menyusun sebuah format mekanisme atau sistem yang terbuka dan demokratis bagi partai politik.

Agar partai politik tetap berjalan sebagaimana idealnya. Yakni sebagai instrumen reproduksi kekuasaan, sekaligus ruang kaderisasi dan ideologisasi.

Misalnya, partai politik sebelum memilih dan memutuskan para kandidat politik wajib melakukan pengujian terkait dengan kompetensi, integritas diri, dan intelektualitasnya.

Atau partai politik membuat sebuah forum diskusi terbuka yang dapat disaksikan oleh rakyat secara langsung. Supaya rakyat mengerti dan memahami mengenai gagasan dan isu apa saja yang ingin diperjuangkan selama lima tahun ke depan. Terlebih rakyat bisa mendebat gagasan yang diusung para kandidat politik.

Tentu, hal demikian sangatlah menarik, dan proses demokrasi akan semakin hidup. Karena relasi yang terbangun antara kandidat politik dengan rakyat itu sejajar, dan sama-sama menjadi subyek demokrasi.

Tinggalkan Balasan