Oleh; Tan Hamzah
Ibu
Bagaimana kuungkapkan rasa rindu yang
Berderu bagai ombak laut dalam, menimpa
Batu-batu karang tajam, menjadi
Butir-butir pasir halus, menjelma
Pantai yang lapang, sepi dan dingin pesisir
Ketika ku duduk di hampir subuh
di tepi, sini
malam ditelan laut, laut dipeluk malam
tiada lagi yang membisikkan camar untuk terbang
membelah gelap
atau menyapa nelayan yang memanggil ikan
tiada
aku sendiri di tepi pantai
yang menungu pagi di ujung mata lautan
Dia Yang Tiada
Chairil Anwar
Masih hangat, bekas senyuman itu
Di kemeja dan celana jeans
Di sebatang rokok, sambil menulis puisi sia-sia
Ada pertemuan yang tidak bertemu
Ada perempuan, anggun, harum dalam tiap bait
Ayat-ayat Ajati
Mengapa cinta menetap begitu dalam dan lama, padahal ia hanya sebentar
Atau ia belum menjelma kata sebentar
Mawar merah dan Melati putih
Tumbuh bersama di halaman rumah yang tidak terawat
Tapi mawar terlihat karena ia menjulang
Sedang melati tetap rendah, merambat sampai pintu
Apa kau ragu, bimbang, dan dilema
Pada dua bunga yang mekar dalam puisimu
Biola
Tiba-tiba pemusik menghampiri meja kita
Mengucap salam, lalu memainkan biola
Dengan nada-nada lirih
“lagu apa yang ia mainkan?” katamu
“Mungkin Chopin” sahutku
Pemusik itu menggesekkan senarnya dengan hati-hati
Takut putus, atau fals
“lagu opera, aku pernah dengar”
Kita sedang berada di panggung, tetaplah bersandiwara