Oleh : Atiqurrahman (Wakil sekretaris LTN NU Pulau Mandangin)
Santri merupakan salah satu bagian fundamental dari elemen masyarakat Indonesia. Santri memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri dalam pola kehidupan sosialnya. Maka, wajar bila masyarakat Indonesia menyebut santri sebagai Identitas Kebudayaan Nusantara. Penyebutan ini cukup beralasan karena kaum santri terlahir dan dibesarkan di lingkungan komunitas imajiner keislaman; yakni Pesantren.
Pesantren telah menjadi tempat bersemayamnya santri. Pesantren menjadi wahana pembelajaran mentalitas dan transformasi keilmuan seorang santri, baik ilmu keislaman seperti Ilmu Aqidah, Fiqih, Tasawwuf, Ilmu Alat dan Ilmu Tafsir Alquran, atau pun ilmu-ilmu yang sifatnya umum. Pengajaran ilmu-ilmu tersebut, nantinya akan menjadi bekal dan modal bagi santri dalam melakukan suatu perbuatan yang bermakna dan bermanfaat kepada masyarakat.
Selain itu, santri dapat memfungsikan pesantren sebagai ruang kuasa makna dan panggung dialektika pengetahuan. Dalam pengertian, santri bebas dalam melakukan kajian-kajian ilmiah (istilah pesantrennya—Bahasul Masail) mengenai persolan-persolaan sosial-kemasyarakatan, keislaman atau pun perkara ijtihad kebangsaan dalam rangka memperluas wawasan pengetahuannya dan mengasah nalar kritisnya.
Dan, masyarakat pada umumnya, memandang identitas santri ini adalah seorang yang berilmu, terutama mengenai ilmu agama—atau disebut seorang cendekiawan.. Pandangan semacam ini dapat dibenarkan, mengingat historisitas kaum santri adalah produk dari pendidikan pesantren.
Oleh karenanya, sangat etis apabila masyarakat memiliki harapan yang begitu besar terhadap kaum santri guna melakukan suatu tindakan perubahan dan perbaikan sosial atas kondisi sosial-masyarakat yang ada, serta diharapkan mampu menyelesaikan segala permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.
Munculnya suatu pengharapan dan pengakuan masyarakat terhadap santri ini, merupakan sebuah wujud nyata bahwa keberadaan santri sangat dibutuhkan oleh masyarakat secara luas dan memiliki daya tawar dalam dimensi arus perubahan sosial saat ini. Sebab, santri tak hanya sekadar identitas belaka, melainkan sebuah perpaduan dari moralitas, spritualitas dan intelektualitas.
Santri Sebagai Intelektual Organik
Gagasan intelektual organik ini pertama kali dikemukakan oleh Antonio Gramsci (1891-1937). Dia seorang filsuf dan pemikir Neo-Marxis Italia yang memberikan sumbangsih yang begitu besar dalam merombak tradisi marxisme ortodoks–yang terlalu bercorak determenistik ekonomis. Seorang Intelektual organik ini menurut Antonio Gramsci, sebagaimana yang di kutip oleh Nezar Patria dan Andi Arief dalam bukunya yang berjudul Antonio Gramsci Negara & Hegemoni adalah merupakan suatu kelas sosial baru, yang muncul dari basis produksi ekonomi, yang menciptakan sendiri kelompok atau kelompok-kelompok intelektual yang memberikan homogenitas serta kesadaran akan fungsinya sendiri, bukan hanya dalam basis ekonomi namum juga basis sosial dan politik (lihat hal-160).
Di samping itu, seorang intelektual organik harus mengambil posisi keberpihakan yang jelas dan berperan dalam setiap hubungan-hubungan sosial yang terjadi. Sebab seorang intelektual organik ini mampu membongkar dan menelanjangi suatu kontrol kuasa penindasan yang terjadi dalam relasi sosial antar masyarakat atau pun individu yang berjalan secara berkelindan dan kasat mata.
Sederhananya, intelektual organik adalah insan yang kritis, cerdas dan memiliki platform ideologis dan keberpihakan kepada masyarakat yang tertindas, serta melakukan upaya perjuangan dan perlawanan dalam rangka membebaskan umat manusia dari sebuah penindasan yang menyertainya.
Nah, keberadaan santri ini merupakan bagian manifestasi dari gagasan intelektual organik yang dimaksud oleh Antonio Gramsci. Meskipun seorang santri ini terlahir dari basis lingkungan pendidikan tradisional yang bercorak keagamaan (pesantren). Tetapi, tidak menghilangkan keotentikan diri seorang santri untuk menjadi sebuah kekuatan intelektual organik.
Sebab, pada konteks saat ini, intelektual organik memang tidak terikat secara pasti pada suatu lingkungan dan lapisan sosial tertentu. Seseorang yang dapat disebut sebagai intelektual organik ini bukan hanya bertumpu pada persoalan identitas sosial yang melekat pada dirinya, seperti dokter, politisi, aktivis, arsitek, advokat dan lain sebagainya.
Dan, santri sebagai intelektual organik—yang notabene memiliki oreintasi pada proses pencerahan, pencerdasan dan pembebasan bagi masyarakat bukanlah sesuatu hal yang berlebihan dan tak beralasan.
Mengingat jasa dan peranan santri terhadap proyeksi kemerdekaan masyarakat Indonesia merupakan bukti nyata yang tercatat dalam lembaran sejarah bangsa Indonesia. Kematian seorang santri bernama Harun dalam peristiwa perang melawan NICA (Pasukan militer Belanda) di Surabaya, tidak hanya sebagai martir (syuhada), tapi juga sebagai simbol sejarah perjuangan santri.
Dan, peristiwa revolusioner tersebut dilatarbelakangi oleh keluarnya seruan “Resolusi Jihad” yang dikumandangkan oleh Hadratussyekh KH. M Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Bahwa, setiap orang yang ada di daerah Jawa dan Madura wajib hukumnya (Fardhu Ain) untuk mempertahankan dan menegakkan agama dan kedaulatan Negara Republik Indonesia Merdeka. Kemudian, lahirnya “Resolusi Jihad” ini dikenal sebagai Hari Santri Nasional (HSN) yang disahkan oleh presiden Jokowi tahun 2015 yang lalu.