Oleh: Atiqurrahman
Sebuah obrolan di Youtube, ada banyak orang merasa kaget melihat kiprah politik Cak Imin sekarang ini. Bahwa Cak Imin menjadi cawapres adalah sesuatu hal yang tidak terduga.
Pandangan itu datang dari politisi-politisi senior yang sepantaran dengan Cak Imin, seperti Ahmad Basarah, Bambang Pacul, Nusron Wahid dan lain sebagainya.
Di mana politisi-politisi kawakan itu sudah melalang buana dalam belantara kekuasaan. Khususnya dalam rumpun kekuasaan legislatif. Mereka pernah menduduki jabatan penting di DPR RI.
Semula, Cak Imin sempat diremehkan dalam kancah perpolitikan nasional. Bahwa baliho-baliho Cak Imin sebagai cawapres atau pun capres yang terpampang di berbagai jalan tidak diperhitungkan oleh publik, terutama bagi para elit politik.
Baliho Cak Imin, tak lebih sekadar “gimmick” politik belaka. Padahal, apa yang dilakukan Cak Imin pada tahun 2019 sebagai upaya branding politik dirinya agar masuk dalam bursa capres-cawapres 2024. Dan, hasilnya adalah Cak Imin menjadi cawapres 2024 mendampingi Anies Baswedan.
Bagi saya, pilpres 2024 ini momentum yang cukup menguntungkan bagi Cak Imin dan PKB. Sebab Cak Imin dan PKB dalam manuver politiknya terlihat mandiri dan tidak memiliki patronase.
Karenanya Cak Imin bebas berselancar diatas kepentingan apa pun dan bebas berkoalisi dengan siapa pun. Termasuk meninggalkan Prabowo dan menyeberang ke koalisi perubahan. Inilah letak kecerdikan dan kelihaian Cak Imin. Sebagai politisi, ia pintar dalam membaca peluang dan memanfaatkan momentum.
Selain itu, saya setuju dengan pernyataan Arie Putra, bahwa keberhasilan Cak Imin sebagai cawapres tidak terlepas dari sistem meritokrasi yang dibangunnya dalam tubuh PKB. Kepemimpinan politiknya terbilang egaliter dan penuh soliditas. Jadi, wajar jika PKB masuk empat besar perolehan suara pemilu 2019.
Dalam tubuh PKB, tidak ada figur yang menonjol, semuanya setara dan sama. Bahkan keputusan politik yang diambilnya bersifat kolektif. Mungkin, itulah yang membedakan dengan partai politik lainnya, seperti PDIP, Nasdem, Demokrat, dan Gerindra yang masih bergantung pada figur dan setiap keputusan politiknya didasarkan pada segelintir orang.
*****
Mungkin, sudah saatnya PKB mengukir sejarah indahnya kembali. Karena ketua umumnya sekarang menjadi cawapres. Sebelumnya PKB telah berhasil mengantarkan Gus Dur sebagai presiden ke-4 Republik Indonesia.
Nah, sejak Gus Dur lengser dari kursi presiden, PKB mengalami dinamika politik yang sangat menegangkan. Puncaknya ialah ketika terjadinya perselisihan antara Gus dengan Cak Imin. Konflik inilah yang mengakibatkan peroleh suara PKB merosot drastis pada pemilu 2009, sekitar 4%.
Selepas itu, PKB mulai bangkit kembali. Melalui tangan dingin Cak Imin, PKB berhasil menempel ke ruang-ruang kekuasaan, dan mampu menempatkan kader-kader terbaiknya sebagai menteri. Sejak rezim SBY periode ke-2 hingga rezim Jokowi sekarang ini.
Oleh karena itu, Cak Imin sempat berkelakar di Mata Najwa, bahwa siapa pun pasangan capres-cawapres yang didukung PKB pasti keluar sebagai pemenang.
Kini, posisi politik PKB berbeda, tidak lagi sebagai penonton atau pendukung, melainkan sebagai pemain. Cak Imin telah masuk gelanggang dalam pertarungan politik (pemilu) bersama Anies Baswedan.
PKB, tentu bersama Nasdem dan PKS, mau tidak mau, harus mengerahkan segalanya demi memenangkan pertarungan ini. Dengan jurus perubahan sebagai andalannya, diharapkan bisa memikat publik untuk memilihnya.
Karena itu, Cak Imin memberikan perhatian dan himbauan serius dihadapan seluruh kader PKB, bahwa dalam pertarungan ini harus menang. Sebab pertaruhannya adalah martabat partai, sekaligus menyangkut masa depan republik Indonesia.
Dengan demikian, saya kira, jalan politik Cak Imin sangat terjal dan penuh dramatis. Setidaknya butuh 18 tahun lamanya untuk memimpin dan memperkuat PKB dengan berbagai dinamika tantangannya. Dan, Cak Imin berhasil melewati itu semua.