Oleh: Atiqurrahman
Kedua tokoh ini sama-sama mewakili aspirasi dan kepentingan warga NU. Sebab, keduanya tumbuh dan berkembang dalam lingkungan tradisi Nahdliyyin.
Cak Imin sendiri adalah cucu dari Kiyai Bisri Syansuri, pendiri Nahdhatul Ulama sekaligus pejuang kemerdekaan. Jadi, kira-kira Cak Imin itu sudah NU sejak dalam kandungan.
Karir Cak Imin pun dimulai dari PMII. Sebuah organisasi mahasiswa yang lahir dari tubuh NU. Tetapi pada 1971, PMII melepaskan diri dari bayang-bayang NU. Karena saat itu NU berpolitik praktis.
Karir aktivisme Cak Imin terbilang sukses dalam PMII. Ia pernah menjabat ketua umum PMII cabang Yogyakarta, 1991. Setelah tiga tahun, ia kembali terpilih sebagai ketua umum PB PMII, 1994.
Salah satu “legacy” Cak Imin bagi PMII adalah terbangunnya sebuah paradigma berpikir kritis dalam tubuh PMII. Dan paradigma berpikir inilah menjadi pisau analisis bagi arah gerakan PMII untuk menjawab berbagai realitas kebangsaan, keislaman dan kemanusian.
Sedangkan Mahfud MD, lahir di Madura. NU di Madura seperti agama. Sebab, penduduk Madura dalam kehidupannya sangat menjunjung tinggi amaliyah-amaliyah tradisi Nahdliyyin. Jadi, ke-NU-an Mahfud MD tidak perlu diragukan lagi.
Karir Mahfud MD dimulai dari HMI Yogyakarta. Aktivisme dan intelektualitas Mahfud MD sangat menonjol masa itu. Bahkan ia pernah memimpin sebuah Majalah mahasiswa bersama sahabatnya (Alm) AE Priyono.
Selepas itu, Mahfud MD menjadi dosen muda di kampus almamaternya, UII Yogyakarta. Kemudian, pada awal 1999, Ia dipanggil oleh Gus Dur untuk dijadikan sebagai Menteri Pertahanan.
Menariknya adalah keduanya sama-sama menjadi kader ideologis dan orang dekatnya Gus Dur. Gus Dur secara tidak langsung telah memberikan pembelajaran politik bagi keduanya sebagai modal dalam meniti karir kedepannya.
******
Kini dua tokoh NU ini sedang bertarung dan memperebutkan suara politik warga Nahdliyyin. Terutama daerah Jawa Timur yang notabene sebagai basis warga Nahdliyyin.
Pun, keduanya juga acap kali mengunjungi pesantren-pesantren yang ada di Jawa Timur. Menemui berbagai Kiyai dan menyapa ribuan santri, tentu saja demi mendulang suara politik.
Bagi saya, secara modal politik, Cak Imin lebih unggul dan kuat dibandingkan Mahfud MD. Sebab, ia mempunyai mesin politik dengan ribuan kader yang siap memenangkannya.
Apalagi, Cak Imin dan PKB telah lama memiliki jaringan dan konektifitas dengan pesantren-pesantren sebagai basis pemilihnya. Bahkan, berkat PKB-lah UU pesantren bisa lahir.
Artinya segala aspirasi dan kepentingan pesantren sudah diakui dan diakomodasi oleh negara. Akan tetapi, eksistensi pesantren tetap menjadi sebuah entitas subkultur nusantara yang takkan tergerus oleh arus modernitas.