Kolom

Cak Imin dan Taubat Ekologis

540
×

Cak Imin dan Taubat Ekologis

Sebarkan artikel ini
Cak Imin dan Taubat Ekologis
Muhaimin Iskandar saat mengisi Sambutan. (Foto: ig @cakiminow)

Oleh ; Atiqurrahman

Dalam debat cawapres kemaren Cak Imin tampil lebih santai, tenang dan percaya diri. Argumentasinya pun masih tetap sama dan konsisten seperti sebelumnya. Berangkat dari sebuah kritik soal kondisi bangsa hari ini yang sedang tidak baik-baik saja.

Cak Imin memulainya dengan menjelaskan beberapa fakta terutama mengenai kondisi hidup para petani gurem di Indonesia yang masih berada dalam garis kemiskinan.

Menurutnya, salah satu sebabnya adalah terpusatnya penguasaan tanah pada segelintir orang. Bayangkan petani gurem yang jumlahnya 3 juta orang itu, hanya memiliki tanah kurang lebih setengah hektar.

Sedangkan para elit politik seperti Prabowo Subianto memiliki tanah negara (HGU) seluas 500 ribu hektar yang tersebar di Kalimantan dan Aceh.

Dan anehnya, negara–tepatnya rezim saat ini membiarkan semua itu terjadi. Agenda reforma agraria atau redistribusi tanah tak lebih hanya sekadar utopia belaka. Tanpa didasari dengan kemauan politik yang kuat dari negara.

Karena itu, Cak Imin menginginkan agenda reforma agraria ini perlu segera dijalankan oleh negara. Sebagai salah satu solusi untuk mengurangi ketimpangan tanah bagi para petani, dan sekaligus kedepannya Indonesia bisa swasembada pangan, dan tidak lagi mengimpor pangan dari negara lain.

Selain itu, Cak Imin menyitir atas tingginya konflik agraria (tanah) disepanjang rezim kekuasaan Jokowi. Dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), telah terjadi 2.939 kasus konflik agraria, dan sudah menelan korban 1,75 juta keluarga.

Tingginya angka konflik agraria ini sangat berkelindan dengan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menjadi ambisi politik dari rezim kekuasaan saat ini. Di mana dalam PSN ini perspektif hak asasi manusia atau nilai-nilai kemanusian ditanggalkan begitu saja.

Sehingga peristiwa penggusuran dan perampasan tanah oleh kekuasaan tidak bisa terelakkan lagi. Dengan kata lain, kekuasaan telah memaksa dan mengusir rakyatnya sendiri dari tanahnya, atas dalih kepentingan umum dan negara.

Dan bagi rakyat yang berani melawan dan menentang kehendak kekuasaan, resikonya adalah diintimidasi, dikriminalisasi bahkan dipenjarakan oleh (aparatus) negara.

Contoh kasus terbaru konflik agraria yang paling nampak dan vulgar adalah pembangunan bendungan di desa Wadas, Jawa Tengah, dan pembangunan parawisata di desa Rempang, Kepulauan Riau.

Di mana masyarakat di kedua daerah itu kini sedang terancam ruang hidup dan sumber penghidupannya. Di Rempang misalnya, masyarakat yang terdampak dipaksa pindah oleh negara ke tempat lainnya. Artinya, masyarakat Rempang akan tercerabut dari akar sejarahnya dan sumber perekonomiannya.

Begitu juga dengan masyarakat Wadas, yang menolak upaya pengerukan atas bukit-bukitnya yang berisi batu andesit sebagai bahan utama pembangunan bendungan. Sebab, jika itu dikeruk, akibatnya adalah sawah para petani akan rusak, serta terjadi longsor dan banjir dikemudian hari.

Cak Imin dan Taubat Ekologis.

Bagi Cak Imin, masalah terbesar dari proyek pembangunan hari ini adalah hilangnya etika lingkungan. Pembangunan berjalan secara ugal-ugalan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dan hak-hak masyarakat adat.

Dan pola pembangunan semacam itu harus segera dihentikan. Salah satu caranya adalah dengan menghentikan pembalakan atau pengundulan hutan secara besar-besaran (deforestasi) demi program yang orientasinya tidak jelas seperti Food Estate di Kalimantan.

Apalagi, krisis iklim kini telah menjadi ancaman nyata dan serius bagi kehidupan umat manusia di berbagai dunia. Diantara akibatnya ialah terjadinya pemanasan global, kekeringan yang berkepanjangan dan naiknya (panas) permukaan air laut. Dan itu semua sudah dirasakan oleh masyarakat dunia, tak terkecuali Indonesia.

Oleh karena itu, Cak Imin menghimbau pada rezim kekuasaan saat ini dengan istilah “Taubat Ekologis. Sebagai upaya penyadaran politik bahwa proyek pembangunannya harus menjungjung tinggi etika lingkungan dan menghormati eksistensi masyarakat adat sebagai kekayaan kultural bangsa ini.

Sementara itu, negara perlu menaikkan anggaran dalam menghadapi krisis iklim ini. Tujuannya untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup agar tetap asri dan bersih, sehingga bisa dinikmati oleh generasi muda kedepannya.

error: Content is protected !!