Oleh: Faisin, S. Pd.I
(Tenaga Pendidik di MI TAJUL ULUM P. Mandangin)
“Aku adalah hamba sahaya bagi guru yang mengajariku ilmu. Andai guruku memintaku seribu dinar (koin emas) untuk satu huruf saja, maka pasti aku membayarnya.” (Imam Ali, karramallahu wajhah)
Dalam pandangan agama, khususnya agama Islam, mendidik anak merupakan kewajiban mutlak orang tua. Kewajiban ini terus berjalan dan tidak bisa gugur karena sebab lain. Kecuali, setelah anak-anak menjadi dewasa dan kewajiban tersebut telah dilimpahkan ke pihak lain lantaran adanya pertanggungjawaban lain yang mengikatnya, semisal karena adanya ikatan pernikahan. Perspektif ini berdasar pada sebuah hadits Nabi yang menyatakan, bahwa setelah anak dilahirkan maka orang tua berkewajiban memberinya ia nama yang baik hingga pada pendidikan yang baik.
Namun bisa gugur, karena orang tua memiliki keterbatasan kemampuan, sebab adanya penyakit yang menderanya dan sulit untuk kembali pulih (permanen) yang menjadi penghalang akan kewajiban itu terlaksana, atau karena ia terbatas pengetahuannya sehingga ia tidak punya kemampuan untuk memberi anak-anaknya asupan ilmu dan pengetahuan. Sehingga dalam kasus ini, ia dibebani kewajiban lain, yaitu mencarikan anak-anaknya seorang guru guna mengajarkan dan mendidiknya yang kemudian memasrahkan penuh kepada guru tersebut.
Maka, dalam kaitannya dengan ini, orang tua mestinya membuka jiwanya, bersikap pasrah, dan merelakan sepenuhnya kepada guru yang telah bersedia mendidik anak-anaknya, serta mematuhi seluruh aturan yang guru berikan. Sebab, guru “pasti” memiliki cara yang menurutnya yang terbaik agar anak asuhnya sesuai harapan. Dengan cara ini sebenarnya orang tua telah mencurahkan kasih sayangnya terhadap buah hatinya, dengan kasih sayang yang sebenar-benarnya.
Mencurahkan kasih sayang kepada buah hati, tidak lantas bersih dari persanksian. Kasih sayang mestinya selaras dengan segenap perhatian, baik pemberian yang berupa reward (penghargaan) maupun yang berupa punishmen (sanksi). Memanjakan buah hati dengan berlebihan tidak baik bagi perkembangan mental dan karakter anak. Mengekspresikan kasih sayang terhadap anak-anak dalam bahasa “manja” tidaklah dibenarkan. Bahkan, tanpa disadari demikian itu merupakan satu bentuk perilaku yang menjerumuskan anak-anak. Di titik ini mestinya orang tua perlu memahami, bahwa porsi kasih sayang yang dilayangkan untuk anak seratus dengan kondisi dan situasi tertentu. Satu waktu anak perlu diberi apresiasi, satu waktu ia diberi sanksi, sesuai kondisi yang melatari.
Bahasa “sanksi” perlu disampaikan kepada anak, agar mereka belajar bertanggung jawab. Terlepas bahasa tersebut disampaikan dengan lantang (keras) atau dengan pelan. Orang tua dalam hal ini perlu bijak menilai. Ia mesti arif memandang, bahwa bahasa sanksi yang diberikan guru kepada anak yang ia pasrahkan ke lembaga sekolah pada sebenarnya adalah bahasa kasih sayang. Sekaligus orang tua harusnya merasa, dengan cara itu anak-anaknya diperhatikan pendidikannya di sekolah. Bukan malah sebaliknya, yaitu dianggap perilaku kriminal yang wajib diadili.
Dulu sekali, sewaktu saya masih kecil, tatkala orang tua saya memasrahkan saya ke guru ngaji atau ke guru sekolah dasar, orang tua saya berkata begini dan kalimat ini beliau sampaikan tepat saya berada di dekatnya dengan nada yang begitu mantap, “Kyae (Pa’ Ghuru), bhadhan kaula masraaghina potra. Taklangkong nyo’on pangapora, didi’aghi ghaneka kalaban sae. Manabi kacong neka melleng, tokol ka’dinto, tokol bagian dimma’a bisaos asal jha’ pabutaaghi soca epon!” (Kiyai /Pak Guru, saya pasrahkan anak saya. Mohon maaf, didik ia dengan baik. Kalau misal anak saya ini nakal, silahkan dipukul di bagian manapun asal jangan dibutakan matanya!). Bahkan, orang tua saya tidak segan-segan memberikan tambahan “pukulan” kepada saya, jika misalnya saya melaporkan sanksi yang diberikan guru di sekolah kepada saya. Di mata orang tua saya, guru tidak mungkin memberikan sanksi (berupa pukulan dan tindakan yang semacamnya) tanpa adanya sebab yang melatarinya.
Namun, ada pergeseran nilai yang cukup serius. Menempatkan buah kasih sayang, orang tua zaman sekarang salah dalam memerintahkannya. Kasih sayang dipahami sebagai “belaian” atas respons balik dari segala tindakan dan perilaku yang diperbuat oleh anak-anak, tanpa memilah jenis perilaku apa yang perlu direspons dengan “belaian”. Menggeneralisasi perilaku inilah penyebab dari karakter anak menjadi manja. Mestinya tindakan destruktif anak yang mengarah pada perilaku yang mencabik nilai-nilai kesopanan perlu direspons dengan ketegasan. Sehingga ada efek jera yang terpantul dari sikap tegas tersebut. Sekaligus berfungsi sebagai preventif.
Dalam konteks ini, mestinya orang tua (wali murid) membantu memberikan arahan berupa wejangan, manakala anak-anaknya mengadu atas tindakan tegas guru di sekolah. Pembelaan dalam konteks ini sama sekali tidak dibenarkan dan justru menghambat perkembangan mental anak-anak. Anak-anak seperti mendapatkan ruang untuk melakukan hal yang serupa, bahkan sampai pada tindakan perlawanan terhadap gurunya. Ini sangat tidak baik bagi perkembangan pendidikan negeri ini, kini dan nanti.
Guru dalam proses belajar mengajar (PBM) dibekali kode etik yang dengannya mereka bersandar. Namun, mereka juga bukan manusia setengah dewa yang suci dari khilaf. Segala proses tindakan yang mereka berikan kepada peserta didiknya semua dilakukan berdasarkan cinta dan kasih sayang. Mereka mengajar, mendidik, mentransfer pengetahuan karena kasih sayang. Mereka memberikan tindakan tegas juga berlandaskan kasih sayang. Semua merupakan respons balik yang tentu disesuaikan dengan sikap dan perilaku peserta didiknya. Tindakan tegas yang guru layangkan memiliki tujuan, dalam istilah agama disebut li al-ta’dzib (untuk mendidik), bukan untuk menyakiti.
Berlebihan jika ada orang tua yang tidak menerima aturan atau sanksi yang diberikan guru di sekolah, namun di saat yang sama mereka percayakan buah hatinya ke sekolah. Mestinya jika mereka konsisten dengan sikapnya, mereka perlu menarik anak-anaknya dari sekolah kemudian didik buah hatinya sesuka hatinya. Atau, mereka minta klarifikasi ke sekolah ajak pihak sekolah berdiskusi. Di sana pasti ada titik temu dan solusi. Sekolah tidak mengucil diri dari aspirasi masyarakat sekitarnya, apalagi dari wali murid yang telah percaya kepadanya.
Ada simbiosis yang saling menguntungkan dalam proses pendidikan kita pada sebenarnya. Profesi guru menjadi ada dan terlaksana manakala ada orang tua yang mempercayakan buah hatinya ke sekolah. Sebaliknya, anak-anak menjadi terhambat proses pendidikannya tanpa guru yang menyisihkan waktunya demi lancarnya proses pendidikan. Untuknya maka, perlunya sikap lapang dada dan saling percaya dalam mengarungi proses ini. Jika pendidikan selalu diwarnai dengan arogansi dan persekusi, jelas pendidikan negeri ini lari lebih jauh ke belakang. Tentu, ini tidak kita inginkan.