Penulis: Atiqurrahman (Anggota IKA PMII Pulau Mandangin)
Ada ungkapan menarik bahwa “ Sesungguhnya di tangan para pemudalah terletak urusan umat, dan pada kaki-kaki merekalah terdapat kehidupan umat”. Ungkapan indah ini tidaklah hanya sekadar kalimat metafor atau majas belaka, melainkan sesuai dengan kenyataan yang ada. Bahwa posisi pemuda memang sangat penting dalam lanskap perubahan sosial.
Dan, mengutif kata Pramodya Ananta Toer, bahwa sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah pergerakan kaum pemuda. Sebab, pemuda selalu saja tampil sebagai lokomotif perubahan dan memiliki semangat juang sangat tinggi. Maka, tak heran bila Bung Karno berani meletakkan nasib dan masa depan bangsa Indonesia dipundaknya para pemuda.
Makna pemuda sendiri, bisa disepadankan dengan spelajar atau mahasiswa, sebab itu satu entitas dan mempunyai artikulasi yang sama; yaitu orang yang selalu haus ilmu pengetahuan. Pemuda, juga identik dengan jiwa yang selalu resah dan gelisah. Ia akan resah, jika melihat kedzoliman dan ketidakadilan terjadi dihadapannya. Ia juga gelisah, bila terjadi suatu pengekangan, serta tidak adanya ruang kebebasan sebagai sarana ekspresi dan aktualisasi diri.
Hal ini tercermin dalam lipatan sejarahnya, bahwa pemuda akan melawan dan memberontak ketika dirinya mengalami suatu penundukan dan penindasan. Setiap peristiwa demontrasi yang bergulir, terlepas apapun isunya, itu menunjukkan bahwa pemuda tidak ingin dikekang, ia ingin seperti burung Elang yang terbang bebas, tanpa harus dibayang-banyangi oleh “sangkar otoriterianisme’’.
Nah, rezim politik jagal Orde Baru pernah mencoba mengkerangkeng masyarakat Indonesia selama 32 tahun lamanya, namun, kemudian dihancurkan oleh gerakan pemuda (mahasiswa) tahun 1998. Sehingga, akhirnya, pintu demokratisasi terbuka secara perlahan dan proses reformasi terus berjalan hingga sekarang meskipun sedikit tertatih-tatih. Jadi, peranan pemuda sebagai tonggak perubahan sosial bukanlah sesuatu klise, dan bisa dipungkiri. Melainkan sebuah fakta sejarah, yang selalu diingat dan dikenang disepanjang zaman.
Lantas, bagaimana dengan sikap pemuda Mandangin, apakah siap untuk mewarisi dan melanjutkan api semangat perjuangan kaum pemuda yang dicatat oleh sejarah itu, atau hanya bersikap apatis dan berpangku tangan atas kodisi realitas yang ada?. Jawabannya, tentu ada dalam diri masing-masing.
Pemuda Mandangin, Bergeraklah.
Saya sangat optimsistik bahwa pemuda Mandangin tidak akan berdiam diri. Pemuda Mandangin selalu diselimuti oleh rasa keresahan dan kegelisahan dalam batinnya. Apalagi, cita-cita luhur seperti mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Mandangin pasti tertanam dalam diri masing-masing pemuda Mandangin.
Rasa optimistik saya ini, punya alasan yang cukup kuat. Ini terlihat dari geliat dinamika munculnya organisasi kepemudaan yang pernah ada di Mandangin. Seperti Pemuda Pergerakan Mandangin (P3M), Gerakan Santri Mandangin (GSM) dan Ikatan Mahasiswa Mandangin (IMADA). Dan, ketiga organisasi ini terbentuk berdasarkan suatu keresahan dan hasil pergulatan intelektual pemuda Mandangin atas kondisi masyarakat yang sedang tidak baik-baik saja.
Dari ketiga organisasi kepemudaan itu, hanya IMADA-lah yang masih aktif dan konsisten dalam menjalankan kegiatan-kegiatannya. Sedangkan P3M dan GSM sudah sirna karena ditelan oleh waktu, dan para anggotanya juga memiliki kesibukan masing-masing. Jadi, keberadaan IMADA inilah menjadi salah satu tumpuan harapan saya, agar selalu istiqomah dalam memberikan pencerahan dan perubahan kepada masyarakat Mandangin sesuai dengan potensi dan kapasitas yang dimilikinya.
Saya tahu, bahwa organisasi IMADA ini sudah mekukan pelbagai kegiatan, seperti mengadakan olimpiade, perlombaan, sosialisasi dan diskusi publik baik offline maupun online. Sebab, di suatu waktu saya pernah diminta untuk mengisi diskusi sebagai pemantik, kalau tidak salah ingat tema diskusinya tentang bantuan sosial di masa pandemi. Jujur, saya melihat ada rasa semangat yang kuat dan terpatri dalam wajah-wajah para pemuda itu. Ini tergambar jelas ketika terjadi dialektika dan saling bertukar argumentasi antara satu dengan lainnya.
Dan, saya mencoba memberikan sedikit provokasi kepada mereka bahwa ruang-ruang diskusi perlu dimassifkan lagi. Selain untuk meningkatkan literasi pengetahuan bagi masyarakat Mandangin, juga sebagai ruang kontestasi gagasan dan pemikiran. Dalam setiap perubahan sosial yang terjadi, pasti ada sebuah gagasan dan pemikiran yang melatarbelakangi. Dan, setiap gagasan dan pemikiran, pasti lahir dari ruang-ruang kecil diskusi. Salah satu contohnya, adalah Revolusi Perancis tahun 1789. Sebuah gerakan revolusi yang lahir dari ruang-ruang kecil diskusi yang berlangsung di Kafe-Kafe (Warung Kopi) di Kota Paris.
Oleh karena itu, keberadaan IMADA ini menjadi penting dan vital bagi masyarakat Mandangin. Jangan sampai organisasi pemuda intelektual ini mati suri karena dibabat oleh waktu. Mengingat, permasalahan Desa Mandangin masih berserakan. Mulai dari maraknya aksi kriminalitas (pencurian dan narkoba), belum jelasnya pengelolaan dana CSR, rendahnya budaya literasi, hingga minimnya ruang demokratisasi di Desa Mandangin.
Berseraknya permasalahan itu, tentu saja bukan sepenuhnya tanggungjawanb IMADA, melainkan tanggungjawab semua pihak yang peduli terhadap nasib dan masa depan Desa Mandangin. IMADA sebagai kumpulan pemuda intelektual tugasnya hanya satu, yakni menyampaikan bahasa kebenaran kepada pihak penguasa, serta membela masyarakat yang yang dilemahkan dan ditindas. Mari, bangkit dan bergeraklah, Pemuda Mandangin!.