Penulis : Atiqurrahman
Koalisi masyarakat sipil dan Kampus (UGM dan UI) menolak tegas revisi UU TNI tahun 2004. Alasannya pun relatif sama, bahwa revisi UU TNI disinyalir akan menghidupkan kembali dwifungsi TNI.
Hal itu telah menghianati cita-cita dan agenda reformasi 27 tahun silam. Di mana militer harus kembali ke barak dan menjaga jarak secara ketat dengan ruang-ruang sipil (publik).
Dan Presiden Gus Dur telah berhasil mengembalikan posisi TNI sebagaimana fungsi aslinya, yakni sebagai alat pertahanan negara, dan karena itu secara perlahan perannya dalam sosial-politik terlucuti. Gus Dur juga berhasil memisahkan antara TNI dan Kepolisian.
Akhir-akhir ini memang peran militer cukup menguat di ruang publik. Jabatan-jabatan publik diisi oleh militer aktif tanpa harus mengundurkan diri (pensiun dini), salah satunya adalah kasus Mayor Teddy yang hangat diperbincangkan publik. Ia menduduki jabatan Sekertaris Kabinet telah menuai polemik.
Revisi UU TNI ini adalah puncak klimaks dari rangkaian eskalasi keterlibatan militer dalam ruang publik. Sebelumnya, dalam UU TNI lama, militer hanya diperbolehkan menduduki 10 jabatan saja, tetapi kini diperluas cakupannya menjadi 16 jabatan.
Artinya ada tambahan enam jabatan publik boleh diduduki militer, yakni kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Keamanan Laut, Badan Narkotika (BNN), Kejaksaan, dan Mahkamah Agung.
Karena itu, revisi UU TNI ini seperti memberikan karpet merah bagi militer untuk menduduki jabatan publik lebih luas. Ini jelas menabrak batasan-batasan antara militer dan masyarakat sipil yang telah dijaga sangat ketat selama ini.
Bahwa tugas utama seorang militer (TNI) hanya menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah negara, serta melindungi segenap bangsa dari ancaman dan gangguan. Tetapi kini ia bisa mengatur urusan sosial, hukum dan politik kehidupan masyarakat sipil.
Jika militer terlampau jauh masuk ke ranah sipil, ini dikhawatirkan akan mengancam ruang demokratisasi dan supremasi sipil. Sebab ruang demokratisasi mensyaratkan terjadinya kebebasan berpendapat dan dialog secara setara.
Sedangkan militer bersifat komando dan hierarkis. Dalam dunia militer, perintah pimpinan adalah sesuatu yang mutlak yang wajib dilaksanakan. Jelas ini sangat kontradiktif sekali.
Keterlibatan militer ini juga akan mengingatkan publik terhadap suasana kelam rejim Orde Baru. Suasana politik yang penuh ketakutan, kekerasan, kekejaman, bahkan pembunuhan.
Jadi, wajar saja bila publik merasa khawatir dan cemas atas keterlibatan militer dalam ruang-ruang publik ini. Sebab sejarah berdarah rejim Orde Baru terus melekat dalam fikiran bangsa ini sampai kapanpun. Terutama bagi para ibu dan keluarga korban penculikan 1998.
Aksi Kamisan yang diinisiasi oleh Ibu Sumarsih (orang tua korban) dan Ibu Suciawati (istri Munir) merupakan saksi sejarah hingga hari ini tentang bagaimana kebrutalan dan kekejaman militer itu.
Dan publik–termasuk saya– tidak ingin peristiwa semacam itu terjadi lagi hari ini. Meski dikatakan otak kampungan, saya turut menolak revisi UU TNI dan keterlibatannya di ruang publik.
Pembahasannya Tertutup.
Selain itu, revisi UU TNI ini prosesnys tertutup dan tanpa melibatkan partisipasi publik. Ia dibahas di hotel mewah dan megah berbintang lima. Ia tidak dibahas di Gedung Rakyat (Senayan) seperti biasanya.
Oleh sebab itu, pembahasan revisi UU TNI dianggap sebagai upaya kudeta senyap dan langkah sunyi militer (TNI) dalam menguasai negara.
Revisi UU TNI juga terkesan terburu-buru dan tanpa adanya alasan yang signifikan bahwa militer itu harus terlibat lebih luas dalam menduduki jabatan publik.
Bahkan revisi UU TNI tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Proglegnas) tahun 2025. Tetapi ia tiba-tiba muncul atas dasar Surat Presiden Prabowo pada pertengahan Februari.
Dengan demikian, dibalik revisi UU TNI jelas ada kepentingan tersembunyi di dalamnya. Yakni menghidupkan kembali dwifungsi militer dan melibatkankanya dalam urusan-urusan publik.
Apabila UU TNI disahkan, jangan kaget jika suatu saat di kementerian dan lembaga negara diisi oleh banyak petinggi militer. Dan pada saat itulah, lonceng kematian demokrasi telah tiba, dan kita hanya bisa meratapinya penuh penyesalan.