Penulis: Atiqurrahman (Anggota IKA PMII Pulau Mandangin)
Setelah perang dunia II berakhir tahun 1945, yang ditandai dengan kekalahan Negara Fasis (Jerman, Italia dan Jepang) terhadap Negara Sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Pada saat itu, muncul sosok pemimpin nasionalis muslim rogresif memimpin dunia. Mereka menjadi sebuah kekuatan baru terhadap arah percaturan ideologi global, di mana kala itu masih dikendalikan oleh negara-negara sekutu.
Mereka tampil dengan penuh keberanian dan rasa percaya diri tentang bagaimana mewujudkan suatu tatanan politik global yang lebih baik dan bermartabat. Mereka menginginkan sebuah kemerdekaan, perdamaian dan persaudaraan sesama antar bangsa. Serta menolak dan menentang terkait segala bentuk rupa penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lainnya.
Lahir dan munculnya pemimpin nasionalis muslim progresif ini, tentunya, telah membuat negara-negara imperalis (sekutu) yang hobinya menjajah dan menjarah bangsa yang lemah menjadi ketar-ketir dan ketakutan. Karena dianggap sebagai sebuah gelombang ancaman besar dan akan mengganggu stabilitas kekuasaannya, sehingga proses penjajahannya akan menimbulkan suatu penentangan dan perlawanan.
Selain itu, mereka mampu menciptakan garis haluan negaranya sendiri, sebagai identitas pembeda dari negara-negara imperalis. Tujuannya tiada lain, untuk membangun dan mewujudkan sebuah bangsa yang berprinsip pada nilai-nilai keadaban dan kemanusian, serta tidak melakukan penindasan terhadap bangsa lainnya.
Sedangkan pemikiran mereka adalah anti-imperalisme dan anti-kolonialisme, yang selalu mereka propagandakan kepada dunia. Dan mereka mencita-citakan tentang kemandirian dan kedaulatan bagi bangsa dan negaranya dihadapan semua negara, termasuk kepada negara-negara imperalis itu. Serta segala keputusan langkah politiknya bersandar pada cita-cita luhur dan kepentingan rakyatnya.
Lantas, siapakah pemimpin nasionalis muslim progresif itu?, yang telah membuat negara imperalis menjadi ketakutan. Mereka adalah Ir. Soekarno dari Indonesia, Gamal Abdul Naser dari Mesir, serta Muhammad Musaddeq dari Iran. Ketiga pemimpin ini adalah seoarang muslim yang taat dan shaleh, serta istiqomah dalam menjalankan segala perintah dan ajaran yang termaktuf dalam Al-Qur’anul karim. Mereka meletakkan agama islam sebagai spirit dan kerangka idologis perjuangannya. Dan menempatkan Alqur’an sebagai kitab pembebasan untuk seluruh umat manusia dari segala bentuk penindasan dan perbudakan. Bahkan mereka mempersabdakan kepada rakyatnya, bahwa Tuhan bersama dengan kaum tertindas (mustadafin), yang wajib hukumnya untuk ditolong dan dibela.
Pada sisi lainnya, mereka dalam membangun bangsa dan negaranya bertumpu pada kebahagian rakyatnya, kesejahteraan rakyatnya, dan kemakmuran rakyatnya. Kehendak dan kemauan rakyatnya-lah yang menjadi benteng dan landasan moral dalam memimpin negaranya. Mereka memposisikan rakyatnya sebagai “tuan raja” yang wajib untuk dilayani. Bahkan mereka tak gentar melawan dan menentang terhadap segala hal yang bertendensi merugikan dan mengkerdilkan negara dan rakyatnya.
Dalam perjalananan karirnya, sebagai pejuang dan politisi revolusioner-progresif. Mereka tidak hanya pandai mengeluarkan retorika nada perlawanan yang ditujukan kepada negara imperalis. Tetapi, mereka juga memiliki sebuah kerangka konsepsi berfikir yang jelas tentang dasar negaranya sendiri, bahkan dapat dijadikan sebagai ideologi alternatif dari kekuatan ideologi global yang terpecah menjadi dua haluan pada saat itu; yakni kapitalisme dan komunisme.
Serpihan Pemikirannya.
Pertama, salah satu gagasan besar Ir. Soekarno adalah tentang “Pancasila”, yang ia utarakan dihadapan anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (PPKI) pada 1 Juni 1945. Adapun isi lima silanya adalah: 1). Kebangsaan Indonesia, 2) Internasionalisme,-perikemanusian, 3). Mufakat,-demokrasi, 4). Kesejahteraan sosial, dan 5). Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang kemudian kelima sila inilah yang menjadi pedoman hidup dalam konteks berbangsa dan bernegara sampai saat ini.
Di sisi lain, Bung Karno (panggilan akrapnya) menuturkan bahwa proyeksi besar kemerdekaan Indonesia merupakan sebuah “jembatan emas”, dalam rangka untuk membangun sebuah kemandirian serta kedaulatan bangsa dan negara, sebagaimana ia gumamkan pada tahun 1930-an melalui pledoinya; yakni “ Indonesia Menggugat”. Sebab, ia menyakini bahwa, kemerdekaan adalah kunci awal sebagai pintu pembuka untuk menata segala aspek tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta memudahkan dalam melaksanakan agenda “Azimat Revolusi Nasional”, yakni Trisakti bangsa Indonesia; berdikari dalam bidang ekonomi, berdaulat dalam politik dan berpribadian dalam kebudayaan. Salah satu langkah konkret kebijakan ekonomi-politiknya bung karno, yaitu mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional yang merakyat, dan ditansformasikan kedalam pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai basis ekonomi yang bercorak sosialistik dalam membangun tatanan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Kedua, Gamal Abdul Nasser, mengumandangkan sebuah gagasan tentang Pan-Arabisme, atau lebih dikenal “Sosialisme Arab’’. Gagasana ini bertujuan untuk mempersatukan negara-negara Arab dalam satu rumpun jiwa, dalam rangka melawan dan menentang negara imperalis yang telah meng-kolonialisasi negara-negara Arab sejak lama. Sehingga, hal ini membuat negara imperalis marah terhadap kepemimpinan politiknya. Dan, pada akhirnya, gagasan politik ini menuai keberhasilan yang membawa rakyat Mesir lepas dari bayangan kendali negara Inggris pada tahun 1956.
Sedangkan pada awal pemerintahan politiknya, ia melakukan perombakan sistem dan pembaruan program bagi rakyatnya. Ia merombak dan menghancurkan sistem lama yang dominatif dan hegemonik. Kemudian ia mencanangkan sebuah program tentang reformasi pertanian serta melakukan nasionalisasi berbagai sektor ekonomi, termasuk menghapus sistem monarki konstitusional menjadi sebuah sistem yang berbentuk republik dengan memusatkan kekuasaan ditangan rakyatnya.
Ketiga, Muhammad Musaddeq, dalam kepemimpian politiknya (Perdana Mentri), ia telah membuat kekuatan Britania Raya (Inggris Raya) sangat merasa ketakutan. Karena kebijakan ekonomi-politiknya yang sangat radikal. Ia berani menasionalisasi seluruh industri minyak milik negara imprealis Inggris yang berada di Iran. Sehingga Inggris mengalami depresi besar karena keuntungan dari bisnis minyaknya diputus begitu saja. Sikap berani Muhammad Musaddeq ini, tidak hanya diperuntukkan kepada Inggris saja, melainkan juga di tujukan kepada Amerika Serikat. Terbukti, ia secara tegas menolak memberikan izin bagi perusahan-perusahan minyak Amerika Serikat untuk melakukan eksplorasi dan produksi minyak di Iran. Sebab, ia mengetahui, bahwa hal itu akan sangat merugikan rakyat dan negaranya. Akibat sikap keberaniannya itu, ia dijuluki sebagai simbol seorang Nasionalis dari tanah Persia.
Namun sayangnya. Mereka tidak lama memimpin bangsa dan negaranya, serta cita-cita luhur politiknya masih belum terwujud sepenuhnya. Hal ini dikarenakan oleh kuatnya tekanan politik yang datang secara massif dan bertubi-tubi, baik dari luar maupun dari dalam negaranya, yang dilakukan oleh negara imperalis melalui spionase intelejennya. Mereka di kudeta dengan berbagai cara untuk dilengserkannya. Sehingga akhirnya pun mereka benar-benar jatuh dari tampuk kekuasaannya.
Meski demikian, melihat keberanian dan kegigihan mereka dalam menjaga kedaulatan negara dan amanah rakyatnya, tentunya membuat hati kita rindu akan sosok pemimpin seperti mereka. Mengingat virus ekonomi neo-liberalisme kian menyerbu negara-negara berkembang yang telah melakukan penjarahan dan eksploitasi atas sumber daya alam. Oleh karenanya. dengan penuh pengharapan dan rasa optimistik, semoga abad 21 ini bisa melahirkan kembali seorang pemimpin negara yang berjiwa nasionalis muslim progresif.